
Kasus Bigmo dan kakaknya, Resbobb, lagi rame banget di bicarain. karena mereka memfitnah selebgram Azizah Salsha—mulai dari gosip selingkuh sampai tuduhan yang nyerempet urusan ranjang. Awalnya mungkin di anggap cuma drama hiburan, tapi ternyata kasus ini nyeret isu yang lebih gede: etika main media sosial, kebebasan ngomong, dan batas hukum di dunia digital.
Yang bikin menarik, meski udah ada video permintaan maaf, Azizah tetep ngotot bawa ini ke jalur hukum. Nah, bagian inilah yang jarang dibahas di media lain.
Maaf Itu Nggak Selalu Cukup
Di medsos, minta maaf udah jadi jurus pamungkas buat nutup masalah. Tapi kasus ini nunjukin kalau nggak semua orang mau menerima “jalan damai”. Azizah mau kasih efek jera, karena reputasi yang udah rusak itu nggak bisa sembuh cuma dengan satu video klarifikasi.
Jejak digital itu kejam. Sekali fitnah nyebar, bakal susah banget bersihinnya. Bahkan kalau udah di-take down, potongan konten bisa tetep muter di akun-akun lain. Jadi, menurutnya, langkah hukum itu bukan cuma buat kepentingan pribadi, tapi juga pesan ke semua kreator: hati-hati sama apa yang lo ucapin di depan kamera.
Gaslighting di Dunia Digital
Yang nggak banyak di bahas adalah gimana korban fitnah di dunia maya sering jadi sasaran gaslighting. Mereka dibilang baper, nggak bisa bercanda, atau lebay kalau merespons tuduhan. Padahal, yang mereka hadapi itu serius.
Tekanan psikologisnya dobel: reputasi hancur, tapi malah disalahin karena “nggak bisa ngelawak”. Inilah sisi gelap medsos—bukan cuma soal info yang nyebar cepat, tapi juga soal narasi yang bisa bikin korban kehilangan posisi di mata publik.
Live Streaming: Hiburan atau Bumerang?
Live streaming memang bikin interaksi jadi real-time dan seru, tapi juga rawan kebablasan. Nggak ada filter, nggak ada waktu mikir panjang, semua keluar spontan. Demi bikin penonton ketawa atau terhibur, kadang kreator nambah-nambahin cerita tanpa mikirin kebenarannya.
Masalahnya, di dunia hukum, “cuma bercanda” nggak bisa di jadiin alasan. Begitu ucapan itu direkam dan viral, dampaknya bisa jauh lebih besar daripada yang dibayangin.
Batas Hukum Itu Nyata
Kasus ini kena pasal-pasal berat soal pencemaran nama baik dan fitnah. Ancaman hukumannya nggak main-main—bisa sampai tahunan di penjara. Artinya, ruang digital bukan tempat bebas seenaknya. Aturan yang berlaku di dunia nyata, berlaku juga di sini.
Bahkan, karena medsos bisa nyebarin info super cepat, konsekuensinya bisa lebih keras. Ini sekaligus jadi pengingat kalau “kebebasan berekspresi” ada batasnya.
Benturan Budaya
Di Indonesia, nama baik itu hal yang sensitif banget, apalagi buat keluarga. Nggak heran kalau banyak yang dukung langkah hukum Azizah. Tapi ada juga yang bilang, “Ah, ini kan cuma konten hiburan, ngapain dibesar-besarin?”
Perbedaan pandangan ini nunjukin benturan antara nilai tradisional—yang sangat menjunjung kehormatan—dengan budaya digital yang lebih santai sama gosip dan candaan. Sayangnya, nggak semua candaan itu aman.
Memulihkan Nama Baik Itu Berat
Yang orang sering lupa, bersihin nama baik di era digital itu ribet banget. Bukan cuma hapus video atau klarifikasi. Harus ada upaya panjang buat ngubah persepsi orang. Kadang butuh tim PR, bantuan hukum, sampai dukungan publik. Dan proses ini bisa makan waktu bertahun-tahun.
Makanya, dari sudut korban, langkah hukum itu kadang bukan soal balas dendam, tapi soal survival.
Kasus Bigmo ini jadi pengingat keras kalau medsos itu pedang bermata dua. Bisa ngasih kita panggung, tapi juga bisa nyeret kita ke masalah besar dalam hitungan jam. Permintaan maaf mungkin bisa nutup satu bab, tapi penegakan hukum yang tegaslah yang bisa bikin cerita ini punya efek jera.
Ke depan, literasi digital, etika bikin konten, dan kesadaran hukum harus jadi paket lengkap. Karena di dunia maya, sekali lo ngomong, dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang lo kira. ~Tirtaaji