
Tentu sih, banyak media yang ngebahas kronologi, pasal hukum, dan suasana sidang. Tapi coba deh kita intip sisi lain yang biasanya nggak begitu di elaborasi: gimana sih, psikologis dan moral seorang personel TNI bisa sampai “lompat pagar” dan bikin tragedi sesadis itu? Yuk kita bongkar gimana ini bisa terjadi.
1. Dari “Pelindung Negara” Jadi “Penghancur Citra TNI”
Pada dasarnya, anggota TNI itu gak cuma pelindung negara, tapi juga contoh moral buat masyarakat. Sayangnya, perilaku Kopda Bazarsah—memiliki judi sabung ayam serta menggunakan senjata ilegal—justru bikin citra TNI ancur. Hakim sampai bilang nih:
“Terdakwa sudah dilatih untuk tugas mulia tapi malah mengkhianatinya.”
Terus, apa yang bikin orang seperti beliau menyeberang ke sisi kelam? Apalagi ketika ia “ngambil cara spontan” saat di gerebek, katanya tanpa perencanaan—tapi tetap membunuh tiga polisi. Itu menimbulkan pertanyaan besar: adakah tekanan sistemik atau kondisi moral yang retak sejak awal?
2. Lobby & Kepercayaan Tersembunyi: Kok Bisa Ada Judi yang TNI Masih “Tahu”?
Salah satu info yang jarang di angkat: ternyata Kopda Bazarsah menjalankan arena sabung ayam—bersama Peltu Yun Hery Lubis—dan kedua-duanya menerima 10% dari total taruhan. Taruhannya pun cukup tinggi: antara Rp500 ribu–Rp2 juta per laga, sampai bisa capai Rp35 juta di acara khusus.
Hal ini sih jelas bikin muncul pertanyaan:
- Gimana bisa sebuah operasi ilegal berjalan mulus di bawah radar hukum?
- Apakah ada “lobby” atau semacam toleransi diam-diam dari pihak berwenang?
Ini mencerminkan adanya keretakan moral yang lebih dalam di struktur institusi—bukan cuma salah satu individu.
3. Runtutan Tragedi: Dari Judi ke Peluru
Sebenernya kasusnya udah mulai mencuat sejak Maret 2025, saat penggerebekan judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Way Kanan. Polisi datang, suasana memanas. Lalu, Kopda Bazarsah menembak secara tiba-tiba, menyebabkan tiga polisi tewas — termasuk Kapolsek Negara Batin Lusiyanto dan dua Bintara lainnya.
Majelis hakim menyatakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana tidak terbukti. Artinya, ini dianggap tindakan spontan, bukan direncanakan. Namun, pasal sekunder seperti 338 (pembunuhan biasa), UU Darurat No. 12/1951 (senjata ilegal), dan Pasal 303 KUHP (perjudian), terbukti sah dan meyakinkan.
Kalau dari perspektif psikologi hukum, spontanitas fatal seperti ini seringkali muncul dari kombinasi tekanan, rasa takut kehilangan kontrol, atau bahkan identitas moral yang tergerus. Bayangin: seseorang yang memegang senjata, mengelola area ilegal, dan tiba-tiba di gerebek — itu bakal nyalain adrenalin abnormal, yang bisa nyeret tindakan irasional dan destruktif.
4. Dampak Lebih Luas: Apa Artinya untuk TNI dan Publik?
Kasus ini bukan cuma soal satu nyawa melayang, tapi tentang kepercayaan publik. Apa jadinya kalau “melindungi dan mengayomi” jadi “korup dan destruktif”? Bisa bikin masyarakat skeptis dan resah—apalagi terhadap institusi yang sebelumnya dianggap paling bisa diandalkan.
Kasus ini juga jadi pelajaran keras: memberantas “keretakan moral” di internal jadi keharusan — jangan sampai individunya bertindak ekstrem karena merasa moralnya sudah ditinggalkan institusi.
5. Jangan Cuma Tertawa, Tapi Belajar
Cerita Kopda Bazarsah tuh tragis banget: dari menjaga NKRI, sampai bunuh tiga polisi, judi, senjata ilegal, terus dihukum mati. Tapi di balik itu, kita bisa belajar banyak:
- Perlu booster moral di ranah militer dan hukum.
- Toleransi rahasia terhadap pelanggaran bisa meracuni sistem.
- Psikologis krisis bisa bikin bahkan yang “dilatih” jadi destruktif.
Semoga kasus ini jadi momentum introspeksi besar buat TNI, hukum, dan publik kita—biar tragedi serupa nggak terulang lagi.