
Aktivis Kampus yang Membawa Idealisme
Sebelum dikenal luas sebagai pejabat negara, Benny Rhamdani adalah seorang aktivis mahasiswa yang terbiasa hidup dalam dunia perdebatan, aksi jalanan, dan perjuangan bersama rakyat kecil. Dunia kampus pada era 90-an menjadi ruang tempanya. Saat mahasiswa lain sibuk mengejar karier, Benny justru memilih mengasah diri di organisasi pergerakan seperti GMNI dan PMII.
Dari sanalah terbentuk gaya khas Benny: lantang berbicara, keras dalam menyuarakan keadilan, namun tetap memegang teguh prinsip bahwa keberpihakan harus selalu ada pada rakyat kecil. Nilai ini kelak terbawa hingga ia duduk di kursi birokrasi.
Politik Sebagai Alat Perjuangan
Bagi banyak politisi, politik adalah jalan menuju kekuasaan. Namun bagi Benny, politik adalah alat untuk memperbesar daya juang. Selama tiga periode di DPRD Sulawesi Utara, ia lebih sering dikenal sebagai sosok yang membela isu-isu kerakyatan daripada sekadar urusan partai. Ia terbiasa menyoroti problem rakyat sederhana, mulai dari petani, nelayan, hingga pekerja informal.
Keputusan maju ke DPD RI pada 2014 juga bukan sekadar ambisi, melainkan strategi memperluas ruang pengaruh. Sebagai senator, ia bisa membawa suara rakyat Sulawesi Utara ke panggung nasional. Dan di situlah ia semakin dikenal dengan karakter vokalnya: keras pada ketidakadilan, tanpa tedeng aling-aling saat mengkritik pejabat atau lembaga negara lain.
Aktivis di Kursi Birokrasi
Ketika Presiden mempercayakan jabatan Kepala BP2MI kepadanya, banyak yang mempertanyakan: bisakah seorang aktivis radikal berubah menjadi birokrat profesional? Benny justru menunjukkan bahwa gaya aktivis bisa menjadi kekuatan.
Alih-alih mengikuti gaya pejabat kebanyakan yang cenderung formal dan berhati-hati, ia tetap tampil dengan gaya lantang. Ia memposisikan dirinya sebagai “pembela PMI”, bukan sekadar kepala badan. Retorikanya lugas, emosional, bahkan kadang dianggap kontroversial. Tetapi justru inilah yang membuat pekerja migran merasa punya “wakil” di dalam pemerintahan.
Humanisme dalam Kebijakan Pro-Pekerja Migran
Ciri paling menonjol dari kepemimpinan Benny adalah keberpihakan humanis. Ia tidak sekadar melihat PMI sebagai penyumbang devisa, melainkan sebagai manusia yang harus di jaga martabatnya.
Kebijakan pembebasan biaya penempatan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga pengakuan bahwa pekerja migran tidak boleh memulai perjalanan dengan beban utang. Program shelter, advokasi hukum, hingga kampanye melawan sindikat ijon adalah bentuk nyata bahwa ia menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan.
Gaya Komunikasi: Antara Keras dan Jujur
Satu hal yang membedakan Benny dari pejabat lain adalah gaya komunikasinya. Ia tidak pandai menutup-nutupi kata. Dalam forum resmi, ia bisa menggunakan bahasa yang sangat lugas, bahkan menantang. Tidak jarang, sikap ini membuatnya bersinggungan dengan pejabat lain atau bahkan aparat penegak hukum.
Gaya kerasnya hanyalah kulit luar; di dalamnya ada kejujuran seorang aktivis yang tak terbiasa menyembunyikan kata. Ia lebih memilih blak-blakan meski berisiko, ketimbang diam dan bermain aman. Kebiasaannya berbicara blak-blakan sering memicu polemik, termasuk ketika ia melontarkan pernyataan tentang figur berinisial “T”. Tetapi bagi Benny, diam berarti mengkhianati nurani yang sudah ia bangun sejak masa muda.
Perjuangan yang Konsisten di Lingkar Kekuasaan
Meski sudah masuk ke lingkaran kekuasaan, banyak orang mengakui Benny masih membawa semangat aktivisnya. Ia tidak berubah menjadi pejabat yang elitis. Ia tetap turun ke lapangan, menemui pekerja migran, berdialog langsung, dan mendengar cerita mereka.
Konsistensinya ini menjadikan sosoknya unik: pejabat yang tidak hanya berbicara di balik meja, melainkan ikut merasakan denyut permasalahan rakyat. Citra ini yang membuatnya dihormati sekaligus dikritik, karena ia berbeda dari pakem birokrasi yang kaku.
Antara Idealisme dan Kontroversi
Tidak bisa dipungkiri, sikap keras dan gaya aktivis Benny sering melahirkan kontroversi. Ada yang menilai langkahnya terlalu berani, bahkan sembrono. Tetapi di sisi lain, banyak yang justru melihat inilah bukti seorang pejabat yang benar-benar berani bersuara.
Kontroversi itu bukan sekadar kelemahan, melainkan konsekuensi dari gaya kepemimpinan yang menolak kompromi pada ketidakadilan. Selama idealismenya tetap berpihak pada rakyat kecil, Benny tampaknya tidak terlalu peduli pada resiko politik yang menanti.
Kesimpulan: Idealisme yang Bertahan dalam Kekuasaan
Benny Rhamdani bukan sekadar pejabat negara. Ia adalah aktivis yang kebetulan menduduki kursi birokrasi. Dari dunia mahasiswa hingga panggung nasional, ia konsisten menjaga keberpihakan pada rakyat.
Gaya keras, komunikasi blak-blakan, hingga kebijakan pro-PMI adalah cermin dari aktivisme yang tidak pernah padam. Kontroversinya memang tidak sedikit, tetapi justru itulah yang membuatnya berbeda. Dalam diri Benny, kita melihat sosok pejabat yang masih membawa api perjuangan aktivis ke dalam birokrasi modern.
Pada akhirnya, sisi unik Benny Rhamdani terletak pada perannya sebagai pengingat bahwa di balik sistem kekuasaan yang kerap dianggap kaku, masih ada ruang bagi idealisme untuk tumbuh dan bertahan.