
Pembukaan
Kisah pembakaran markas Brimob Kwitang di Jakarta sempat bikin heboh. Api besar, asap pekat, dan suasana mencekam jadi pemandangan yang nggak biasa di kawasan yang biasanya ramai dengan pedagang buku dan warung makan.
Tapi di balik tragedi itu, ada sisi lain yang jarang dibahas: cerita soal warga sekitar yang saling bantu, meski mereka sendiri juga panik dan ketakutan. Inilah kisah tentang solidaritas yang muncul di tengah kekacauan.
Api Membesar, Warga Jadi Penolong Pertama
Begitu keributan meledak dan api mulai ngelalap markas Brimob, suasana langsung jadi kacau balau. Anak-anak nangis, orang tua bingung harus lari ke mana. Tapi alih-alih diam, banyak warga justru bergerak cepat.
Mereka keluar rumah bawa ember, panci, bahkan galon buat nyiram api. Ada juga yang buru-buru buka pintu rumah buat jadi tempat berlindung bagi orang-orang yang terjebak. Pokoknya, siapa pun yang ada di sekitar situ, baik aparat, demonstran, atau sekadar warga lewat, dikasih ruang untuk selamat.
Solidaritas Spontan: Dari Air Minum sampai Tempat Ngungsi
Di tengah asap pekat, beberapa warung nggak ragu-ragu bagi-bagi air mineral gratis. Ada ibu-ibu yang gelar tikar di gang biar anak-anak kecil bisa istirahat jauh dari titik api.
Aksi-aksi kecil ini mungkin nggak masuk berita besar, tapi buat yang ngalamin langsung, rasanya luar biasa. Mereka lihat sendiri bagaimana warga bisa saling bantu tanpa peduli latar belakang siapa yang lagi ada di depan mereka.
Trauma yang Tersisa
Sayangnya, setelah api padam, bukan berarti semua masalah selesai. Anak-anak di Kwitang banyak yang masih trauma. Ada yang susah tidur, ada yang langsung kaget kalau dengar suara keras.
Orang tua dan lansia pun merasakan hal yang sama. Apalagi, asap pekat sempat bikin mereka sesak napas. Artinya, kerugiannya bukan cuma soal bangunan, tapi juga perasaan warga yang masih kepikiran dan susah tenang.
Ekonomi Warga Ikut Terdampak
Kwitang terkenal dengan pedagang bukunya. Tapi setelah insiden, banyak lapak terpaksa tutup. Pedagang kaki lima, warung kecil, sampai tukang parkir kehilangan penghasilan harian.
Seorang pedagang buku bilang, “Kami memang nggak kena api langsung, tapi dagangan nggak laku sama sekali. Sehari bisa nol pemasukan.” Jadi, efek insiden ini ternyata jauh lebih luas dari sekadar bangunan yang terbakar.
Dukungan dari Luar Kwitang
Cerita soal solidaritas warga langsung nyebar di medsos. Netizen pun rame ngasih dukungan, ada yang bikin thread semangat, sampai ada juga yang buka donasi online buat bantuin warga sekitar.
Komunitas mahasiswa dan relawan juga turun ke lapangan, bawain makanan, air, sampai obat-obatan sederhana. Di sini kelihatan banget kalau solidaritas nggak kenal batas lokasi—meski nggak kenal langsung, orang-orang tetap mau bantu.
Pelajaran Penting
Dari tragedi ini, ada beberapa hal yang bisa kita renungkan:
- Solidaritas itu nyata. Saat situasi genting, warga nggak mikirin politik atau perbedaan, yang dipikirin cuma kemanusiaan.
- Kemanusiaan lebih utama. Api nggak peduli siapa aparat, siapa demonstran. Semua orang butuh selamat.
- Trauma butuh perhatian. Bukan cuma bangunan yang harus dibangun lagi, tapi juga hati dan mental warga.
Harapan Warga
Warga pengin pemerintah jangan cuma mikirin bangun lagi markas Brimob, tapi juga inget bantuin masyarakat yang kena imbas. Entah itu dalam bentuk trauma healing buat anak-anak, bantuan ekonomi untuk pedagang kecil, atau jaminan keamanan yang lebih ramah.
Banyak tokoh lokal bilang, jangan sampai warga kecil lagi-lagi jadi korban dari konflik besar. Mereka cuma mau hidup tenang, bisa dagang, bisa sekolah, bisa tidur nyenyak tanpa ketakutan.
Penutup
Tragedi pembakaran markas Brimob Kwitang memang meninggalkan luka. Tapi di balik itu, ada cerita indah tentang solidaritas warga yang patut kita apresiasi.
Gotong royong ternyata bukan cuma slogan, tapi nyata terasa di lapangan. Meski masih ada trauma dan kerugian, semangat kebersamaan ini bisa jadi modal penting buat bangun kembali kepercayaan dan kedamaian.