NasionalTrending

Wafatnya Pakubuwono XIII: Akhir Sebuah Era dan Awal Ketidakpastian di Keraton Surakarta

Duka dari Surakarta

Kabar duka menyelimuti masyarakat Jawa pada Minggu, 2 November 2025. Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, wafat pada usia 77 tahun. Ia sempat di rawat intensif di Rumah Sakit Indriati Solo Baru sebelum meninggal dunia. Jenazahnya di bawa ke Keraton Surakarta pagi hari dan di sambut tangis haru para abdi dalem, kerabat, serta masyarakat yang menunggu sejak dini hari.

Pakubuwono XIII, yang memiliki nama kecil KGPH Hangabehi, memimpin keraton sejak 2004. Dua dekade kepemimpinannya di kenal sebagai masa pemulihan wibawa keraton setelah konflik panjang “raja kembar” dengan adiknya, KGPH Tedjowulan. Kini, kepergian beliau bukan hanya duka bagi keluarga besar keraton, tetapi juga membuka babak baru yang sarat pertanyaan: siapa penerus takhta Surakarta?


Konflik Lama yang Belum Benar-Benar Usai

Isu suksesi di Keraton Surakarta bukan hal baru. Setelah wafatnya Pakubuwono XII pada 2004, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh keraton — satu pihak mendukung Hangabehi, sementara pihak lain mengangkat Tedjowulan. Konflik itu bahkan memecah abdi dalem dan sempat menimbulkan ketegangan fisik di lingkungan keraton.

Meskipun pada 2012 pemerintah memediasi rekonsiliasi dan mengesahkan Hangabehi sebagai Susuhunan tunggal, luka sosial di dalam keraton tidak hilang sepenuhnya. Banyak kalangan menilai, perbedaan pandangan dan garis keturunan masih tersisa dalam struktur internal, terutama di antara keluarga besar dan para pangeran muda.

Wafatnya Pakubuwono XIII menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kembali gesekan lama, terutama saat menentukan pewaris sah takhta.


Putra Mahkota dan Persiapan Suksesi

Sejak beberapa tahun terakhir, nama KGPAA Hangabehi Hamangkunegoro di sebut sebagai putra mahkota dan penerus yang di siapkan oleh PB XIII. Ia di kenal aktif dalam kegiatan budaya dan sering mewakili keraton dalam acara adat maupun diplomasi kebudayaan. Namun, belum ada pernyataan resmi dari pihak keraton yang menegaskan statusnya sebagai penerus sah.

Beberapa tokoh keraton di sebut juga memiliki peluang untuk tampil, tergantung hasil musyawarah keluarga besar. Dalam tradisi Jawa, penetapan raja baru tidak hanya soal garis darah, tetapi juga restu spiritual dan kesepakatan para sentana dalem (keturunan bangsawan).

Pemerintah kota Surakarta dan aparat keamanan bersiap menjaga agar prosesi adat dan penobatan berjalan aman.


Makna Sosial Wafatnya Sang Raja

Bagi masyarakat Surakarta, sosok Pakubuwono XIII bukan sekadar pemimpin simbolik. Beliau adalah penjaga nilai dan adat yang menjadi identitas budaya kota ini. Banyak warga menyebutnya sebagai figur yang tenang, bersahaja, dan berusaha menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas.

Selama masa kepemimpinannya, PB XIII berupaya menghidupkan kembali sejumlah upacara adat besar seperti Grebeg Mulud, Sekaten, hingga kirab malam 1 Sura. Ia juga mendorong kegiatan seni tradisional, tari, dan gamelan agar tetap di kenal generasi muda. Namun, tantangan di era modern membuat posisi keraton tak lagi sekuat masa lampau. Banyak aset keraton yang rusak, aktivitas budaya menurun, dan sebagian wilayah istana masih menghadapi masalah hukum.

Meski demikian, kehadiran PB XIII tetap menjadi simbol kontinuitas — pengingat bahwa warisan Mataram Islam masih berdenyut di Surakarta.


Reaksi Publik dan Pejabat Pemerintah

Wafatnya PB XIII mendapat perhatian luas dari masyarakat, tokoh budaya, dan pemerintah. Sejumlah pejabat, termasuk Gubernur Jawa Tengah dan Wali Kota Surakarta, menyampaikan belasungkawa dan menegaskan pentingnya melanjutkan peran keraton sebagai penjaga nilai luhur Jawa.

Di media sosial, tagar #PakubuwonoXIII menjadi trending, dengan ribuan warganet mengunggah foto dan kutipan doa untuk sang raja. Banyak yang menyoroti betapa sosoknya jarang tampil di depan publik, namun di hormati karena kesederhanaan dan keteguhannya mempertahankan adat.

Sebagian warganet lain menyoroti perlunya generasi baru untuk melanjutkan peran keraton secara lebih terbuka dan modern, terutama dalam konteks pariwisata dan pelestarian budaya digital.


Pemakaman di Imogiri

Keraton Surakarta mengumumkan jenazah PB XIII akan dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Upacara pemakaman di rencanakan berlangsung pada Selasa, 5 November 2025, dengan prosesi adat penuh penghormatan.

Upacara pemakaman raja Mataram biasanya melibatkan kirab jenazah dari keraton menuju Imogiri, disertai pembacaan doa, tembang macapat, serta penghormatan dari abdi dalem dan sentana. Ribuan masyarakat diperkirakan akan memadati jalur kirab sebagai bentuk penghormatan terakhir.


Masa Depan Keraton Setelah PB XIII

Pertanyaan terbesar kini adalah: ke mana arah Keraton Surakarta setelah kepergian sang raja?

Banyak kalangan budaya menilai, momentum ini seharusnya menjadi titik balik bagi keraton untuk memperkuat peran sosial dan pendidikan budaya di masyarakat. Keraton bukan hanya simbol masa lalu, melainkan pusat nilai moral dan kearifan lokal yang bisa memberi inspirasi bagi kehidupan modern.

Namun, tanpa kepemimpinan yang kuat dan kompak di dalam keluarga keraton, harapan itu sulit tercapai. Konflik internal di masa lalu harus dijadikan pelajaran agar generasi penerus tak terjebak pada perebutan simbol, melainkan fokus pada pelestarian budaya.

Beberapa pengamat budaya juga menyoroti perlunya kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas budaya agar keraton bisa lebih produktif dan terbuka. Revitalisasi fisik bangunan keraton, transparansi pengelolaan, dan modernisasi manajemen budaya menjadi kunci agar institusi ini tetap hidup dan relevan di masa depan.


Penutup: Warisan yang Tak Pernah Padam

Sri Susuhunan Pakubuwono XIII meninggalkan warisan yang tidak hanya berbentuk pusaka atau upacara, tetapi juga semangat menjaga jati diri Jawa. Beliau berjuang di masa sulit — di tengah arus modernisasi, tekanan sosial, dan konflik internal — namun tetap berpegang pada prinsip harmoni dan kebijaksanaan.

Kini, tanggung jawab itu berpindah kepada generasi penerus. Keraton Surakarta berdiri di persimpangan sejarah: antara menjaga masa lalu dan menatap masa depan. Apa pun yang terjadi setelah ini, sosok PB XIII akan dikenang sebagai raja yang menutup satu babak besar dalam sejarah Jawa — dengan tenang, berwibawa, dan penuh dedikasi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button