
Kehidupan Sehari-Hari Pemerintahan yang Terekam
Jagat maya di Surabaya baru-baru ini di hebohkan oleh insiden unik yang melibatkan tim media sosial Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Dalam sebuah siaran langsung di Instagram, tanpa di sadari mikrofon masih aktif saat jeda. Suara percakapan dari salah satu anggota tim terdengar jelas menyebut istilah “epok-epok keliling”, yang kemudian viral di media sosial.
Istilah tersebut langsung menimbulkan berbagai tafsir di kalangan warganet. Sebagian menilai “epok-epok” berarti “pura-pura” atau “seolah-olah”, sehingga kalimat itu di anggap menyindir kegiatan lapangan wali kota yang di tampilkan di media sosial seakan-akan rutin di lakukan, padahal mungkin sebagian merupakan hasil dokumentasi atau pengambilan gambar khusus.
Kronologi Kejadian
Peristiwa itu bermula ketika akun resmi media sosial Wali Kota Surabaya melakukan siaran langsung kegiatan lapangan. Setelah sesi utama selesai, admin lupa mematikan mikrofon. Dalam jeda itu, terdengar percakapan ringan antara tim produksi yang tengah mendiskusikan hasil video, lalu muncul ucapan yang memicu polemik: “Epok-epok keliling.”
Rekaman tersebut kemudian tersebar luas di berbagai platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Dalam waktu singkat, klip berdurasi beberapa detik itu menjadi viral. Banyak warganet mengomentari, sebagian merasa kecewa, sebagian lagi menanggapi dengan humor. Tak sedikit pula yang mengaitkannya dengan citra kepemimpinan di era digital, di mana penampilan publik pejabat sangat bergantung pada media sosial.
Admin yang suaranya terekam kemudian membuat pernyataan permintaan maaf secara terbuka dan mengundurkan diri dari posisinya. Ia mengaku tidak bermaksud menyinggung atau menciptakan kesan buruk terhadap wali kota, melainkan hanya bercanda dengan rekan kerjanya.
Reaksi dan Dampak di Masyarakat
Reaksi publik terhadap insiden ini sangat beragam. Sebagian masyarakat menilai hal itu sebagai “kesalahan manusiawi” yang tak perlu di besar-besarkan. Namun, banyak juga yang melihatnya sebagai tanda bahwa ada kesenjangan antara kegiatan nyata dan citra yang di bangun di media sosial.
Kritik paling tajam muncul dari warga yang menyoroti pentingnya keaslian dalam aktivitas pejabat publik. Mereka menilai, bila benar ada kegiatan yang di atur hanya untuk keperluan konten, maka hal itu dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin daerah.
Sebaliknya, beberapa pihak membela tim media sosial, menyebut bahwa istilah “epok-epok keliling” tidak selalu berarti pura-pura, tetapi bisa di artikan sebagai “simulasi” atau “pengambilan ulang” agar dokumentasi lebih layak tayang. Dalam dunia media, pengambilan ulang seperti itu adalah hal lumrah, terutama ketika cuaca atau situasi di lapangan tidak mendukung.
Reaksi Pemerintah Kota Surabaya
Pemerintah Kota Surabaya bergerak cepat menanggapi viralnya peristiwa tersebut. Wali Kota Eri Cahyadi menyampaikan bahwa ia tidak mengetahui adanya pembicaraan itu karena terjadi di luar kendalinya. Ia menegaskan bahwa semua kegiatan lapangan yang di tampilkan memang benar di lakukan dan bukan rekayasa.
Pernyataan itu di harapkan bisa meredam spekulasi publik. Namun, beberapa pihak menilai insiden ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh aparatur pemerintahan dalam mengelola komunikasi publik, terutama di media sosial yang sifatnya sangat terbuka.
Pelajaran bagi Pemerintahan dan Komunikasi Publik
Kasus “epok-epok keliling” menjadi contoh nyata bagaimana komunikasi digital bisa berbalik arah jika tidak dikelola dengan hati-hati. Dalam konteks pemerintahan, ada tiga pelajaran penting yang bisa diambil:
- Transparansi dan Keaslian Harus Dijaga.
Masyarakat sekarang sangat peka terhadap tanda-tanda keaslian. Sekali publik merasa ada yang dibuat-buat, kepercayaan akan sulit dipulihkan. Oleh karena itu, setiap kegiatan pemerintah harus disampaikan apa adanya, tanpa tambahan narasi yang berlebihan. - Profesionalisme Tim Media Sosial.
Pengelola akun resmi pemerintah bukan sekadar operator konten, melainkan representasi institusi publik. Mereka harus memahami etika komunikasi, menjaga privasi, dan tahu kapan mikrofon atau kamera harus benar-benar dimatikan. - Respons Krisis yang Cepat dan Empatik.
Tindakan cepat dari admin untuk meminta maaf dan mundur menunjukkan tanggung jawab pribadi. Namun, institusi juga perlu melakukan evaluasi sistem agar insiden serupa tidak terulang, misalnya dengan menetapkan prosedur kerja lebih ketat. 
Pandangan Publik terhadap Wali Kota
Meski sempat muncul kritik tajam, sebagian masyarakat Surabaya tetap menilai Wali Kota Eri Cahyadi sebagai sosok yang dekat dengan warga. Banyak yang menganggap kejadian ini sebagai kesalahan kecil dari tim, bukan dari pribadi wali kota.
Namun, di sisi lain, warganet menyoroti bahwa di era keterbukaan informasi, citra pejabat publik kini tak hanya ditentukan oleh kebijakan dan program, tetapi juga oleh bagaimana aktivitas mereka ditampilkan di dunia maya.
Fenomena “Epok-Epok” sebagai Cermin Budaya Digital
Istilah “epok-epok” kini sudah menjadi bahan candaan sekaligus refleksi. Dalam konteks budaya digital, kata itu menggambarkan paradoks zaman: di satu sisi, publik menuntut transparansi dan keaslian, tapi di sisi lain, konten yang rapi dan menarik sering kali memerlukan proses kreatif yang tidak selalu spontan.
Kejadian ini memperlihatkan bagaimana batas antara realitas dan representasi semakin kabur. Pejabat publik, artis, bahkan masyarakat biasa kini hidup di ruang yang sama: dunia yang menilai segalanya berdasarkan penampilan di layar.
Kesimpulan
Kasus “epok-epok keliling” di lingkup Pemerintah Kota Surabaya bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cermin dari tantangan komunikasi di era digital. Kejadian ini mengingatkan bahwa keaslian adalah mata uang paling berharga dalam membangun kepercayaan publik.
Sebuah mikrofon yang lupa dimatikan bisa menjadi pengingat bagi semua pejabat, tim humas, dan pengelola media sosial: dalam dunia digital, tak ada lagi “di balik layar”. Semua bisa terekam, dianalisis, dan menjadi sorotan publik.
				


