NasionalTrending

Affan Kurniawan: Kisah Ojol Biasa yang Berakhir Tragis—Tinjauan dari Sudut yang Belum Banyak Dibahas

Pembuka

Untuk komunitas ojol, 28 Agustus 2025 akan terus teringat sebagai hari di mana salah satu rekan mereka pergi dengan cara yang tragis. Di Pejompongan, Jakarta Pusat, seorang rekan sesama driver, Affan Kurniawan, meninggal dunia karena terlindas kendaraan taktis Brimob saat demo berlangsung. Peristiwa ini bikin banyak orang kaget, marah, sekaligus sedih.

Bayangin aja, Affan bukan bagian dari massa aksi, dia cuma lagi cari rezeki di jalan. Tapi nasib berkata lain, dia justru jadi korban di situasi yang sebenarnya nggak ada hubungannya dengan dirinya. Dari situ wajar banget kalau muncul banyak pertanyaan. Sebenarnya seaman apa sih prosedur pengamanan demo di negeri kita? Aparat beneran siap nggak sih buat jaga masyarakat biasa yang cuma kebetulan lewat?

Dalam artikel ini, kita akan membahas sisi lain yang jarang disentuh oleh pemberitaan umum. Bukan hanya soal siapa yang salah, tapi juga tentang sisi kemanusiaan korban, kelalaian prosedur aparat, kerentanan profesi ojol dalam situasi genting, dan bagaimana solidaritas publik muncul secara spontan.


1. Affan: Tulang Punggung Keluarga & Driver Biasa-biasa Aja

Nama Affan mungkin sebelumnya tidak banyak dikenal. Ia hanyalah seorang pemuda berusia 21 tahun yang sehari-hari mengandalkan profesi ojol untuk menghidupi keluarga. Namun, di balik jaket hijau yang dipakainya, ada kisah sederhana tentang perjuangan seorang anak muda yang ingin membuat orangtuanya bangga, sekaligus meringankan beban rumah tangga.

Di hari itu, Affan sama sekali tidak berniat ikut aksi massa. Ia hanya sedang mengantar orderan seperti biasa. Tapi takdir berkata lain, ia justru menjadi korban dari kericuhan yang bahkan tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Ketika sebuah tragedi menimpa orang biasa yang sedang mencari nafkah, rasa kehilangan itu bukan hanya soal hilangnya satu nyawa, tapi juga hilangnya masa depan sebuah keluarga. Dari sisi ini, publik bisa melihat bahwa peristiwa ini lebih dari sekadar “insiden demo”. Ini adalah cerita tentang betapa rapuhnya kehidupan pekerja harian ketika mereka harus berhadapan dengan kekacauan yang bukan milik mereka.


2. Kronologi “Blink-and-You-Miss-It”: Kelalaian Prosedur Rantis Brimob

Dari rekaman yang tersebar, terlihat jelas bagaimana kendaraan taktis Brimob melaju di tengah massa. Affan yang berada di jalur itu tertabrak, bahkan tubuhnya kembali terlindas oleh ban belakang. Semua terjadi begitu cepat, tapi dampaknya abadi.

Pertanyaan besar pun muncul: di mana letak SOP pengamanan? Apakah memang tidak ada aturan jelas soal jarak aman antara kendaraan taktis dengan massa sipil? Bagaimana mungkin sebuah kendaraan besar bisa melaju tanpa memperhatikan orang-orang di sekitarnya?

Kalau prosedur pengendalian massa hanya berfokus pada cara membubarkan kerumunan, tapi tidak punya sistem perlindungan bagi orang-orang yang kebetulan melintas, maka hasilnya adalah tragedi. Dan inilah yang terjadi pada Affan. Ia bukan peserta demo, bukan provokator, bukan bagian dari massa. Ia hanyalah korban dari prosedur yang tidak lengkap.

Hal ini seharusnya jadi bahan evaluasi serius. Bukan sekadar mencari siapa yang salah, tapi bagaimana sistem bisa gagal sampai akhirnya merenggut nyawa orang tak bersalah.


3. Ojol di Zona Merah: Korban Prosedur yang Tidak Dibuat untuk Mereka

Profesi ojek online itu unik. Mereka bisa muncul di jalan-jalan sempit, masuk ke keramaian, bahkan tetap bekerja saat ada demo atau kericuhan. Masalahnya, ketika kota sedang kacau, mereka juga jadi pihak yang paling rentan.

Dalam situasi demo, aparat biasanya fokus pada massa aksi. Tapi tidak ada aturan khusus tentang bagaimana melindungi warga sipil yang kebetulan ada di area tersebut, termasuk para ojol. Padahal, jumlah driver ojol di Jakarta bisa ribuan orang, dan banyak dari mereka tetap harus bekerja meskipun ada risiko.

Bayangkan, seorang driver yang hanya fokus mencari nafkah, tiba-tiba masuk ke zona merah tanpa tahu bahwa ada potensi bentrokan. Tidak ada peringatan resmi, tidak ada arahan jalur aman, dan tidak ada panduan mitigasi risiko. Akhirnya, mereka jadi korban prosedur yang tidak pernah dibuat untuk mereka.

Kasus Affan ini bisa jadi momentum untuk menata ulang. Perusahaan ojol, aparat, dan bahkan pemerintah daerah perlu duduk bersama. Driver harus diberi informasi real-time soal jalur berbahaya, dan aparat harus memasukkan keberadaan ojol dalam perencanaan pengamanan.


4. Empati Publik: Dari Makam hingga Mako Brimob

Salah satu hal yang menarik dari tragedi ini adalah bagaimana solidaritas publik muncul dengan begitu cepat. Dari komunitas ojol, ribuan orang datang mengantar jenazah Affan ke peristirahatan terakhir. Tidak sedikit pula yang langsung mendatangi markas Brimob, menuntut kejelasan dan keadilan.

Aksi ini menunjukkan bahwa tragedi Affan bukan hanya dirasakan oleh keluarganya, tapi juga oleh ribuan orang yang merasa seprofesi, atau sekadar sesama manusia yang peduli. Ada rasa “itu bisa saja terjadi pada saya” yang membuat orang-orang merasa terhubung secara emosional.

Bahkan masyarakat umum yang tidak kenal Affan pun ikut bersuara di media sosial. Mereka mengecam, menuntut transparansi, dan berharap ada keadilan nyata, bukan sekadar permintaan maaf formal. Empati publik ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih punya rasa kepedulian yang tinggi, terutama terhadap korban yang jelas-jelas tidak bersalah.

Solidaritas semacam ini penting, karena bisa menjadi penekan moral sekaligus sosial terhadap pihak-pihak yang berwenang. Kasus Affan jadi bukan hanya urusan internal aparat, tapi sudah jadi perhatian publik luas.


Penutup

Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan bukan sekadar kecelakaan lalu lintas. Ia adalah cermin kegagalan sistem untuk melindungi masyarakat biasa di tengah situasi genting. Dari sisi kemanusiaan, kita kehilangan seorang anak muda dengan masa depan panjang. Dari sisi prosedur, ada celah besar yang harus diperbaiki.

Bagi seorang driver ojol, jalanan adalah ladang rezeki sekaligus arena penuh risiko. Saat kota mendadak kacau, posisi mereka makin rentan—karena mereka harus tetap mencari nafkah di tengah situasi yang berbahaya. Kerjaan mereka kan di jalan, jadi mau nggak mau harus hadapi risiko meski bukan bagian dari masalah. Dan dari sisi sosial, kita menyaksikan bagaimana empati publik bisa menyatu menjadi suara keadilan.

Kini, pertanyaan yang tersisa bukan lagi sekadar “siapa yang salah”, tapi bagaimana kita bisa memastikan tragedi semacam ini tidak terulang. Ke depan, aparat harus memperbarui SOP, perusahaan ojol harus lebih proaktif memberi perlindungan, dan masyarakat harus terus menjaga solidaritas.

Semoga peristiwa ini jadi pelajaran, bukan sekadar headline yang cepat dilupakan. Karena di balik tragedi, ada manusia, ada keluarga, dan ada harapan yang hilang.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button