NasionalTrending

Animasi Merah Putih: One For All Jadi Viral Gara-Gara Dugaan Nyomot Karya Orang

1. Harapan vs. Realita

Menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025, film animasi Merah Putih: One For All dirilis Perfiki Kreasindo untuk menumbuhkan semangat nasionalisme lewat kisah anak-anak menyelamatkan bendera pusaka. Namun, film ini justru memicu kontroversi soal kualitas visual dan penggunaan aset animasi.

2. Tuduhan Penggunaan Aset Tanpa Izin

Salah satu kritikan paling tajam datang dari seorang kreator 3D asal Pakistan, yang menyatakan bahwa tim produksi di duga menggunakan karakter-karakternya dari platform Reallusion tanpa izin atau kredit. Ia menegaskan bahwa tim produksi tidak pernah menghubunginya. Bahkan, tidak hanya satu—tapi enam karakter miliknya di duga di gunakan dalam film tersebut.

Netizen turut membanjiri kolom komentar dengan dukungan dan ajakan agar kreator tersebut mempertimbangkan langkah hukum. Banyak warganet Indonesia yang ikut merasa malu dan meminta agar pihak produksi bertanggung jawab penuh, karena hal ini di nilai mencoreng nama baik perfilman nasional.

3. Respons dan Pembelaan Tim Produksi

Menanggapi tuduhan tersebut, sutradara film menyebut kemiripan desain karakter wajar karena “dunia animasi sangat luas”. Menurutnya, setiap animator punya kebebasan gaya dan interpretasi. Ia menegaskan timnya telah bekerja keras menghadirkan latar yang menyerupai pedesaan dan alam Indonesia. Penilaian akhir, katanya, ia serahkan kepada penonton setelah menyaksikan film secara utuh.

4. Kritik Publik Lain: Aset Murah dan Visual Tidak Lokal

Selain tuduhan plagiat, warganet juga mengkritik penggunaan aset di gital murah—seperti model jalan dari toko aset 3D—yang di anggap tidak memiliki nuansa lokal, padahal filmnya bertema kebangsaan. Parahnya lagi, muncul kabar kalau aset itu cuma seharga belasan dolar. Nggak heran banyak yang mulai mikir, “Lah, terus miliaran rupiah buat produksi larinya ke mana?”

Beberapa penonton juga menilai bahwa latar visual yang di gunakan tidak sepenuhnya merepresentasikan suasana khas Indonesia, baik dari segi arsitektur, warna, maupun detail lingkungan. Kritik ini membuat diskusi publik meluas dari sekadar masalah hak cipta menjadi persoalan identitas visual nasional.

5. Anggaran dan Keterlibatan Pemerintah

Isunya, budget film ini tembus Rp 6,7 miliar, tapi proses bikinnya nggak sampai sebulan. Buat ukuran proyek skala nasional, durasi segitu jelas bikin orang geleng-geleng kepala. Kritikan makin intens bila di bandingkan dengan animasi lain yang menghabiskan anggaran jauh lebih kecil namun mendapat pujian dari segi kualitas visual.

Pemerintah menegaskan tidak memberikan bantuan finansial atau fasilitas promosi kepada film ini, yang di sebut di danai oleh yayasan perfilman non-pemerintah. Pernyataan ini sekaligus membantah isu bahwa dana publik di gunakan untuk produksi film.

6. Tanggapan DPR dan Harapan ke Depan

Berbagai kritik juga datang dari DPR RI. Meski mengapresiasi keberanian sineas lokal membuat film animasi nasional, mereka menyoroti kualitas visual dan proses produksi yang dinilai belum maksimal. DPR berharap masukan publik dijadikan evaluasi untuk meningkatkan kualitas animasi Indonesia, baik secara teknis maupun manajemen proyek

7. Nilai Kebangsaan di Tengah Perdebatan

Di balik kontroversi, film ini mengusung pesan persatuan dalam keberagaman: delapan anak dari latar budaya berbeda bersatu menyelamatkan bendera pusaka. Nilai moral dan semangat kebangsaan ini patut diapresiasi, terutama di tengah minimnya animasi lokal bertema nasionalisme.

Namun, bagi sebagian orang, pesan positif itu tenggelam oleh sorotan negatif soal dugaan pelanggaran hak cipta dan kualitas teknis yang dianggap kurang. Ini menunjukkan bahwa dalam industri kreatif, pesan baik tetap butuh eksekusi solid agar sampai ke penonton.

8. Pelajaran untuk Industri Animasi Lokal

Kontroversi Merah Putih: One For All menjadi pengingat bahwa industri animasi membutuhkan keseimbangan antara idealisme dan profesionalisme. Menggunakan aset 3D dari pihak ketiga bukanlah masalah selama ada izin dan kredit yang jelas, serta penyesuaian yang cukup untuk menciptakan identitas visual sendiri.

Selain itu, perencanaan produksi yang matang—termasuk alokasi waktu dan anggaran—menjadi kunci agar hasil akhir tidak sekadar selesai, tetapi juga memenuhi standar kualitas yang diharapkan penonton.

Tuduhan penggunaan aset tanpa izin menuntut penegakan hak cipta, sementara kritik terhadap kualitas memaksa industri untuk lebih serius meningkatkan profesionalisme. Semoga kontroversi ini menjadi pelajaran penting agar karya anak bangsa di masa depan tak hanya mengusung pesan kebangsaan, tapi juga membanggakan dari segi teknis, etika, dan budaya. Dengan begitu, pesan persatuan dan cinta tanah air benar-benar dapat menginspirasi, bukan malah tenggelam oleh polemik.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button