NasionalTrending

“Anus Saya Diberi Cabai dan Disuruh Ngaku LGBT”: Kesaksian Mengerikan Prada Richard di Sidang Kasus Prada Lucky

Gelombang Emosi di Ruang Sidang

Suasana ruang sidang militer mendadak hening ketika Prada Richard Junimton Bulan naik ke kursi saksi. Wajahnya tegang, suaranya bergetar, namun ia berusaha tegar saat menceritakan peristiwa yang hingga kini masih meninggalkan trauma mendalam. Dalam kesaksiannya, Richard menyebut bahwa ia dan almarhum Prada Lucky mengalami penyiksaan brutal di markas satuan mereka.

“Anus saya di beri cabai, lalu saya di suruh ngaku LGBT,” katanya lirih, membuat sebagian pengunjung sidang menundukkan kepala. Pernyataan itu langsung menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena kejamnya perlakuan tersebut, tapi juga karena menggambarkan bagaimana kekerasan bisa di jadikan alat penghinaan dan pemaksaan pengakuan.


Dari Pemeriksaan Sepele Menjadi Tragedi

Kasus ini bermula dari pemeriksaan internal di satuan tempat Prada Lucky dan Prada Richard bertugas. Dugaan awalnya sederhana: adanya laporan soal kedekatan yang di anggap tidak wajar antara dua prajurit muda itu. Namun alih-alih di lakukan sesuai prosedur, pemeriksaan berubah menjadi serangkaian penyiksaan.

Richard mengaku mereka di pukuli, di setrum, dan di paksa mengaku menjalin hubungan sesama jenis. Ketika keduanya membantah, kekerasan justru meningkat. Hingga akhirnya Lucky di temukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Luka-luka di tubuhnya menunjukkan tanda-tanda penyiksaan berat.

Sidang yang kini berjalan berfokus pada mencari kebenaran di balik kematian tragis tersebut, dengan Richard sebagai salah satu saksi kunci yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.


Pengakuan yang Di paksa dan Luka yang Tak Terlihat

Dalam kesaksiannya, Prada Richard tidak hanya bicara soal fisik. Ia juga menyinggung rasa malu, ketakutan, dan tekanan psikologis yang di alami setelah di paksa mengaku hal yang tidak pernah ia lakukan.
“Waktu itu saya tidak tahu harus bagaimana. Mereka ramai-ramai menekan saya. Saya di suruh ngaku, kalau tidak, katanya nasib saya akan sama seperti Prada Lucky,” ujar Richard.

Penggunaan kekerasan seksual sebagai bentuk penghinaan bukan hal baru dalam kasus penyiksaan. Namun kesaksian ini memperlihatkan betapa dalam luka batin yang di tinggalkan. Pemaksaan pengakuan sebagai LGBT bukan hanya tindakan kejam, tetapi juga bentuk perendahan martabat manusia — sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai militer dan kemanusiaan.


Reaksi Publik: Dari Empati ke Amarah

Setelah kesaksian Richard viral, gelombang reaksi muncul dari berbagai lapisan masyarakat. Media sosial di penuhi komentar empati, kemarahan, dan tuntutan agar kasus ini di usut tuntas. Banyak yang menilai bahwa apa pun alasan internal yang melatarbelakangi peristiwa ini, tidak ada pembenaran atas kekerasan seperti itu.

Tagar terkait nama Prada Lucky dan Prada Richard sempat menduduki posisi teratas di media sosial. Publik menyoroti lemahnya pengawasan dalam institusi tertutup seperti militer, di mana kekerasan bisa terjadi tanpa terpantau pihak luar. Desakan untuk membuka transparansi dan meninjau ulang sistem pembinaan prajurit muda pun menguat.


Sidang yang Terus Menegangkan

Setiap kali sidang di gelar, perhatian publik seolah tertuju ke ruang persidangan. Prada Richard kerap terlihat menunduk, seolah masih berusaha menahan beban emosional dari masa lalu yang kelam.
Di sisi lain, para terdakwa dan penasihat hukumnya berupaya membantah atau meredam kesaksian tersebut, dengan alasan bahwa pemeriksaan di lakukan sesuai prosedur. Namun detail yang di ungkap Richard terlalu spesifik untuk diabaikan.

Hakim pun beberapa kali menegaskan pentingnya melindungi saksi, terutama dalam kasus yang melibatkan kekerasan ekstrem seperti ini. Sidang mendatang disebut akan menghadirkan saksi tambahan dan pemeriksaan lanjutan atas alat bukti forensik.


Isu LGBT yang Dimanipulasi

Salah satu aspek paling mengerikan dari kasus ini adalah bagaimana isu LGBT dijadikan senjata untuk menekan korban. Richard dan Lucky, dua prajurit muda yang baru memulai karier, dipaksa mengakui orientasi yang tidak pernah mereka nyatakan.

Dalam konteks sosial Indonesia, stigma terhadap LGBT masih tinggi, apalagi di lingkungan militer yang sangat konservatif. Pemaksaan pengakuan semacam ini bukan hanya bentuk penyiksaan fisik, tetapi juga psikologis — menghancurkan harga diri seseorang dengan menuduh hal yang memalukan di mata lingkungan mereka.

Para pengamat menilai bahwa ini menjadi bukti betapa mudah isu sensitif digunakan untuk menjustifikasi kekerasan. Dan dalam kasus Prada Lucky, stigma itu berujung pada kematian.


Luka Kemanusiaan di Balik Seragam

Kasus ini membuka sisi kelam dari sistem disiplin militer. Seragam yang seharusnya menjadi simbol kehormatan justru menutupi kekerasan terhadap sesama anggota. Banyak pihak kini menyerukan agar penyelidikan tak berhenti pada pelaku lapangan, tetapi juga menelusuri rantai komando — siapa yang memberi perintah, siapa yang membiarkan.

Kematian Prada Lucky bukan sekadar tragedi individu, melainkan cermin bahwa perlindungan terhadap prajurit muda masih rapuh. Kesaksian Prada Richard menjadi pengingat bahwa keberanian untuk bersuara bisa membuka tabir ketidakadilan, meski dengan risiko besar.


Menuju Keadilan yang Sebenarnya

Sidang kasus ini belum selesai. Namun tekanan publik yang terus meningkat membuat semua pihak kini menunggu hasil akhir dengan penuh perhatian. Apakah pengadilan militer mampu memberikan keadilan yang setimpal? Ataukah kasus ini akan tenggelam seperti banyak kasus kekerasan internal lainnya?

Bagi Prada Richard, keadilan bukan hanya soal hukuman untuk pelaku. Ia ingin pengakuan bahwa yang dialaminya nyata — bahwa penderitaannya dan kematian Lucky tidak sia-sia. Di luar ruang sidang, masyarakat sipil dan pegiat HAM terus menyerukan agar militer melakukan reformasi dalam sistem pengawasan dan perlakuan terhadap prajurit muda.


Penutup

Kesaksian Prada Richard adalah suara dari ruang gelap yang jarang terdengar. Cerita tentang tubuh yang disiksa, harga diri yang dihancurkan, dan kebenaran yang dipelintir demi menutupi kesalahan. Kini, publik menunggu: apakah keadilan benar-benar bisa hidup di tengah sistem yang menuntut loyalitas absolut?

Tragedi Prada Lucky dan kesaksian Prada Richard adalah peringatan keras bahwa kekerasan, apa pun dalihnya, tidak bisa dibenarkan. Seragam tidak boleh menjadi tameng bagi kejahatan kemanusiaan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button