NasionalTrending

Banjir Besar di Medan: Saat Kota Tak Lagi Tahan Guyuran Hujan

Hujan Deras dan Kota yang Tak Siap

Hujan deras yang mengguyur Kota Medan dalam beberapa hari terakhir kembali memunculkan pemandangan yang sudah terlalu akrab bagi warganya: genangan air di mana-mana. Ribuan rumah terendam, ratusan warga mengungsi, dan aktivitas kota sempat lumpuh. Di berbagai kawasan seperti Medan Marelan, Helvetia, dan Medan Johor, air naik dengan cepat hanya dalam hitungan jam setelah hujan deras mengguyur tanpa henti.

Bagi warga Medan, banjir bukanlah hal baru. Namun yang mengkhawatirkan, intensitas dan luas genangan terus meningkat dari tahun ke tahun. Banyak yang menilai, ini bukan sekadar bencana alam, melainkan akibat dari lemahnya tata kelola kota dan lingkungan.


Akar Masalah: Antara Alam dan Ulah Manusia

Curah Hujan Tinggi

Secara geografis, Medan berada di wilayah dengan curah hujan tinggi. Saat hujan ekstrem turun dalam waktu singkat, volume air yang mengalir ke permukaan melampaui kapasitas drainase. Akibatnya, genangan cepat terbentuk bahkan di kawasan yang sebelumnya tidak rawan.

Drainase Buruk dan Penuh Sampah

Masalah klasik di kota besar: saluran air yang sempit, tersumbat sampah, dan kurang pemeliharaan. Banyak parit yang di tutup untuk di jadikan lahan parkir atau bangunan permanen, membuat air kehilangan jalur aliran alami. Saat hujan deras datang, air tak punya tempat lain untuk pergi kecuali meluap ke jalan dan rumah warga.

Hilangnya Ruang Resapan

Urbanisasi pesat menjadikan banyak daerah hijau dan lahan terbuka berubah fungsi menjadi perumahan, ruko, dan jalan beraspal. Setiap meter tanah yang tertutup beton berarti hilangnya kemampuan tanah menyerap air. Efek domino pun terjadi — air hujan langsung mengalir deras ke drainase yang sudah penuh, mempercepat terjadinya banjir.

Sungai yang Menyempit

Sungai Deli dan beberapa aliran lain di Medan kini jauh berbeda di banding puluhan tahun lalu. Lebarnya berkurang, dasarnya dangkal, dan banyak bagian yang terhalang bangunan liar. Di musim hujan, sungai-sungai ini tidak lagi mampu menampung debit air yang meningkat drastis.

Tata Ruang yang Tidak Disiplin

Pembangunan di kawasan rawan banjir masih kerap terjadi. Pengawasan lemah dan kebijakan tata ruang yang longgar menyebabkan kawasan bantaran sungai berubah menjadi permukiman padat. Akibatnya, saat banjir melanda, korban paling banyak justru dari kelompok masyarakat yang tinggal di sana.


Dampak yang Di rasakan Warga

Rumah Terendam, Aktivitas Lumpuh

Ribuan rumah terendam hingga setinggi lutut bahkan pinggang orang dewasa. Warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih tinggi dengan membawa barang seadanya. Sekolah di liburkan, akses jalan utama tertutup air, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Banyak pelaku usaha kecil terpaksa menutup warung atau toko karena air masuk hingga ke dalam bangunan.

Ancaman Penyakit

Genangan air yang lama surut memicu risiko kesehatan. Penyakit kulit, diare, hingga demam berdarah sering meningkat pasca-banjir. Air kotor bercampur limbah rumah tangga memperburuk kualitas lingkungan. Bagi anak-anak dan lansia, kondisi ini sangat berbahaya.

Kerugian Ekonomi

Banjir di Medan bukan sekadar mengganggu kenyamanan, tapi juga menimbulkan kerugian besar. Perabot rumah tangga rusak, kendaraan mogok, dan infrastruktur kota butuh perbaikan. Di sektor usaha, banyak pelaku UMKM kehilangan pendapatan karena barang dagangan rusak atau tempat usaha tergenang.

Dampak Sosial dan Psikologis

Selain kerugian material, banjir juga meninggalkan luka sosial dan mental. Rasa lelah, stres, dan ketidakpastian membuat sebagian warga kehilangan semangat. Banyak yang mengeluhkan bahwa setiap kali hujan turun deras, rasa takut selalu datang — takut kehilangan rumah, barang, atau bahkan nyawa.


Upaya Penanggulangan dan Solusi yang Di perlukan

Normalisasi Sungai

Langkah mendesak adalah menormalkan kembali aliran sungai yang menyempit. Pengerukan sedimentasi, pembongkaran bangunan liar di bantaran sungai, dan penguatan tebing perlu di lakukan secara konsisten, bukan sekadar saat banjir besar terjadi.

Sistem Drainase Modern

Medan membutuhkan sistem drainase perkotaan yang lebih terintegrasi dan efisien. Drainase vertikal misalnya, dapat menjadi solusi inovatif untuk mempercepat penyerapan air ke dalam tanah. Selain itu, perawatan rutin saluran air harus menjadi program tetap, bukan kegiatan insidental.

Kolam Retensi dan Embung Kota

Kawasan-kawasan strategis perlu memiliki kolam retensi atau embung untuk menampung air sementara. Kolam ini dapat mengurangi tekanan debit air saat hujan lebat, sekaligus menjadi cadangan air di musim kemarau.

Tata Ruang yang Disiplin

Pemerintah kota harus lebih tegas dalam penerapan aturan tata ruang. Pembangunan di kawasan hijau dan daerah resapan air harus di batasi. Selain itu, setiap proyek besar sebaiknya diwajibkan memiliki sistem pengelolaan air hujan sendiri, agar tidak menambah beban drainase umum.

Edukasi dan Partisipasi Masyarakat

Peran warga tidak kalah penting. Kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan parit, dan melapor bila ada penyumbatan saluran perlu terus ditumbuhkan. Partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan program pengendalian banjir jangka panjang.

Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan

Penerapan sistem peringatan dini berbasis cuaca dan debit air dapat membantu warga bersiap sebelum banjir terjadi. Selain itu, setiap lingkungan perlu memiliki rencana evakuasi dan titik kumpul aman untuk mengurangi risiko korban jiwa.

Kolaborasi Antardaerah

Sungai-sungai yang mengalir ke Medan tidak berhenti di batas administratif kota. Artinya, pengendalian banjir perlu kerja sama dengan daerah tetangga seperti Deli Serdang dan Karo. Pendekatan regional yang terkoordinasi akan jauh lebih efektif dibandingkan kerja terpisah.


Menuju Kota yang Lebih Tahan Banjir

Mengatasi banjir di Medan bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam satu atau dua tahun. Diperlukan perubahan pola pikir, keseriusan pemerintah, serta partisipasi aktif warga. Banjir harus dipandang bukan hanya sebagai bencana tahunan, tapi sebagai cermin dari cara kita memperlakukan alam dan kota.

Jika sungai dijaga, saluran air dirawat, dan ruang hijau dilindungi, Medan masih punya harapan untuk terbebas dari genangan. Namun jika kebiasaan lama terus berulang, maka setiap musim hujan akan kembali membawa kisah yang sama — kota yang tenggelam di bawah air, sementara warganya hanya bisa pasrah menunggu surut.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button