
Setelah berbulan-bulan terjebak dalam konflik yang menelan ribuan korban jiwa, harapan baru akhirnya muncul di Gaza. Gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku awal Oktober 2025. Suara ledakan yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari perlahan mereda, digantikan langkah hati-hati warga yang mulai kembali ke rumah mereka yang hancur. Namun, di balik kabar gembira itu, luka mendalam dan krisis kemanusiaan tetap membayangi.
Harapan Baru dari Gencatan Senjata
Kesepakatan gencatan senjata kali ini bukan sekadar jeda dalam pertempuran, tetapi juga membawa janji besar: dimulainya proses pertukaran sandera dan tahanan serta masuknya bantuan kemanusiaan berskala besar.
Israel mulai menarik pasukannya dari sejumlah wilayah Gaza, sementara puluhan truk bantuan melintasi perbatasan membawa makanan, obat-obatan, dan bahan bakar. Organisasi kemanusiaan internasional berlomba-lomba untuk menjangkau jutaan warga yang selama ini hidup tanpa listrik, air bersih, dan makanan cukup.
Namun, di lapangan, tantangan masih besar. Banyak warga melaporkan jalur distribusi bantuan tidak merata. Sebagian wilayah utara Gaza masih sulit dijangkau karena reruntuhan bangunan dan sisa bahan peledak. Warga harus berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mendapatkan setetes air atau sepotong roti.
Ribuan Pengungsi Pulang ke Reruntuhan
Salah satu pemandangan paling menyentuh setelah gencatan senjata diumumkan adalah arus pengungsi yang kembali ke Gaza utara. Mereka membawa koper lusuh, tas plastik, atau sekadar karung berisi pakaian seadanya.
Bagi banyak keluarga, perjalanan pulang ini bukanlah kembalinya kehidupan normal, melainkan awal dari perjuangan baru. Rumah-rumah rata dengan tanah, jalanan hancur, dan bau kematian masih menyengat di udara. Anak-anak berlarian di antara puing, mencoba mencari mainan lama yang mungkin masih tersisa. Sementara orang tua mereka menggali reruntuhan dengan tangan kosong, berharap menemukan sesuatu yang bisa diselamatkan.
Rasa kehilangan begitu nyata di setiap sudut kota. Tapi meski segalanya hancur, keinginan untuk tetap bertahan hidup menjadi satu-satunya alasan mereka melangkah.
Pertukaran Sandera dan Tahanan
Gencatan senjata ini juga menjadi awal dari proses pertukaran yang sangat ditunggu. Puluhan sandera yang sebelumnya ditahan oleh Hamas mulai dibebaskan, sebagian besar dalam kondisi lemah setelah berbulan-bulan dalam penyanderaan. Sebagai imbalannya, Israel mulai membebaskan ribuan tahanan Palestina dari berbagai penjara.
Bagi banyak keluarga di kedua pihak, ini adalah momen penuh emosi. Tangis haru, kemarahan, dan kelegaan bercampur menjadi satu. Namun di sisi lain, proses ini juga menimbulkan ketegangan baru di dalam masyarakat masing-masing. Tidak semua pihak setuju dengan kesepakatan yang ada, terutama mereka yang kehilangan anggota keluarga akibat perang panjang ini.
Krisis Kemanusiaan yang Belum Usai
Meski pertempuran berhenti, krisis kemanusiaan belum berakhir. Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan, penyakit, dan trauma psikologis yang luar biasa.
Banyak anak mengalami malnutrisi berat, sementara rumah sakit kewalahan menangani pasien dengan fasilitas terbatas. Generator listrik hanya menyala beberapa jam sehari, dan pasokan air bersih hampir tidak ada.
Organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa tanpa stabilitas dan akses penuh terhadap bantuan, jumlah kematian bisa meningkat dalam beberapa minggu ke depan. Warga Gaza kini tidak hanya berjuang melawan kehancuran fisik, tetapi juga bertarung untuk menjaga kewarasan di tengah penderitaan berkepanjangan.
Penolakan Pengawasan Asing
Salah satu isu politik yang kini mencuat adalah rencana beberapa negara untuk mengawasi atau bahkan mengelola sementara wilayah Gaza setelah perang berakhir.
Namun Hamas dan sejumlah faksi Palestina menolak keras gagasan tersebut. Mereka menegaskan bahwa pemerintahan Gaza adalah urusan internal rakyat Palestina sendiri.
Sikap ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa campur tangan asing dapat memperlemah kedaulatan Palestina. Meski begitu, banyak pihak menilai bahwa tanpa keterlibatan internasional, upaya rekonstruksi akan sangat sulit dilakukan. Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang akan mengelola Gaza di masa depan?
Luka yang Belum Sembuh
Di tengah berbagai perundingan politik, ada satu hal yang sulit diukur — luka batin jutaan orang yang kehilangan segalanya.
Ribuan anak kehilangan orang tua. Ratusan keluarga kehilangan rumah dan mata pencaharian. Generasi muda tumbuh dengan trauma dan ketakutan yang belum sempat disembuhkan.
Psikolog yang bekerja di lapangan melaporkan meningkatnya kasus depresi, gangguan tidur, dan ketakutan ekstrem di kalangan anak-anak. Mereka terbangun di malam hari karena mengira masih mendengar suara bom. Dalam banyak kasus, tak ada dukungan psikologis yang memadai karena tenaga profesional pun ikut menjadi korban.
Ketegangan Internal di Gaza
Selain ancaman eksternal, Gaza kini juga menghadapi potensi konflik dari dalam. Di beberapa wilayah, muncul bentrokan antara kelompok bersenjata lokal dan faksi politik yang berebut pengaruh pascaperang.
Salah satu insiden paling mencolok terjadi di bagian selatan Gaza, di mana pertikaian antara kelompok bersenjata menewaskan sejumlah orang. Peristiwa ini menjadi sinyal bahwa stabilitas internal Gaza belum sepenuhnya pulih, bahkan setelah senjata berhenti menyalak.
Kondisi ini menambah kekhawatiran masyarakat internasional bahwa perang baru bisa meletus kapan saja jika tidak ada mekanisme politik yang jelas untuk menjaga keamanan dan pemerintahan sipil.
Tantangan Rekonstruksi
Tantangan terbesar Gaza ke depan adalah membangun kembali dari nol. Infrastruktur rusak parah, sistem kesehatan lumpuh, dan sektor pendidikan hampir tak berfungsi.
Pemerintah sementara Gaza memperkirakan butuh waktu puluhan tahun dan dana miliaran dolar untuk mengembalikan kehidupan ke titik normal. Namun tanpa kestabilan politik, dana bantuan dari luar pun sulit mengalir.
Banyak keluarga kini memilih membangun tempat tinggal darurat dari puing-puing rumah mereka sendiri. Di sela reruntuhan, mereka menyalakan lilin dan menanam bunga kecil — simbol harapan bahwa kehidupan masih mungkin tumbuh di tanah yang porak-poranda.
Kesimpulan
Perang Gaza 2025 menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian di kawasan itu. Gencatan senjata membawa harapan, tetapi juga ujian besar: apakah pihak-pihak yang bertikai sungguh siap meninggalkan dendam lama demi kehidupan baru?
Warga Gaza kini berada di persimpangan antara bertahan hidup dan menata kembali masa depan. Dunia boleh menaruh simpati, tetapi hanya mereka yang tahu seberapa dalam luka yang tertinggal.
Dalam setiap batu yang hancur, tersimpan cerita kehilangan. Namun di antara reruntuhan itu juga tumbuh benih kecil keteguhan — tekad untuk tetap hidup, meski dunia seakan melupakan mereka.