Pendahuluan
Surabaya bukan hanya di kenal sebagai Kota Pahlawan, tapi juga sebagai kota dengan simbol-simbol bersejarah yang erat kaitannya dengan perjalanan bangsa. Kalau lewat pusat kota Surabaya, pasti langsung ngeh sama Gedung Negara Grahadi yang megah banget. Selama bertahun-tahun, Grahadi jadi saksi bisu dari dinamika politik, perubahan sosial, hingga konflik yang mewarnai Jawa Timur.
Namun, kalau biasanya orang hanya membahas sisi sejarah kolonialnya, kali ini kita coba lihat dari sudut berbeda: bagaimana Grahadi berfungsi hari ini sebagai simbol kekuasaan, ruang perlawanan, sekaligus bagian dari denyut nadi masyarakat Surabaya.
1. Sekilas Sejarah Grahadi
Grahadi di bangun pada akhir abad ke-18 oleh Residen Belanda Dirk van Hogendorp. Dulu, Grahadi sempat di pakai buat tempat kumpul-kumpul dan rapat. Baru setelah itu, bangunan ini resmi jadi rumah dinas Gubernur Jawa Timur sampai sekarang. Dengan arsitektur bergaya neoklasik, Grahadi menyimpan nuansa kolonial yang kental sekaligus menjadi salah satu ikon heritage Surabaya.
Sejarah ini penting, tapi menariknya, Grahadi tidak hanya berhenti sebagai “museum hidup.” Gedung ini terus memainkan peran penting dalam dinamika sosial-politik Jawa Timur hingga sekarang.
2. Grahadi Sebagai Simbol Kekuasaan
Bagi warga Jawa Timur, menyebut Grahadi sering kali identik dengan “pemerintahan.” Dari sinilah Gubernur dan jajaran pejabat provinsi mengumumkan kebijakan penting, menerima tamu negara, hingga menggelar acara resmi.
Namun, sisi simbolik ini punya dua wajah. Di satu sisi, Grahadi mencerminkan otoritas pemerintah daerah. Di sisi lain, ia juga sering dilihat sebagai “istana” yang terpisah dari keseharian rakyat. Jarak antara pagar megah Grahadi dengan jalan raya di depannya seakan jadi metafora jarak antara rakyat dengan elit politik.
3. Grahadi Sebagai Ruang Perlawanan
Yang seru, halaman depan Grahadi udah kayak “panggung utama” buat berbagai aksi massa. Demo buruh, mahasiswa, sampai aksi solidaritas sering banget digelar di sini. Wajar sih, lokasinya strategis plus punya bobot simbol politik yang kuat.
Bagi para demonstran, datang ke Grahadi artinya “bicara langsung ke penguasa.” Meski mungkin gubernur tidak selalu hadir, namun berdiri di depan gerbang Grahadi memberi rasa bahwa suara rakyat sedang ditujukan ke pusat kekuasaan daerah.
Fungsi ganda inilah yang bikin Grahadi unik: ia bukan hanya milik pemerintah, tapi juga menjadi arena rakyat menyampaikan protes dan aspirasi.
4. Grahadi di Era Media Sosial
Kalau dulu demo di depan Grahadi hanya terekam kamera televisi, sekarang situasinya berbeda. Era media sosial membuat setiap aksi bisa langsung disiarkan ke ribuan orang. Hashtag #Grahadi atau #Surabaya kerap muncul di Twitter/X setiap ada aksi besar.
Artinya, Grahadi bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang digital. Apa yang terjadi di depan gerbangnya bisa langsung menjadi bahan diskusi nasional, bahkan global. Di sinilah letak kekuatan baru: Grahadi kini menjadi panggung offline sekaligus online.
5. Konflik dan Ketegangan: Grahadi Sebagai “Zona Panas”
Tidak bisa dipungkiri, Grahadi sering jadi titik ketegangan. Demo ricuh, ban dibakar, sampai bentrok sama aparat—halaman depan Grahadi udah sering banget jadi “zona panas.”
Bagi sebagian orang, ini memberi citra negatif. Namun, di sisi lain, kondisi ini justru menunjukkan vitalitas demokrasi. Grahadi bukan sekadar gedung heritage, tapi juga arena di mana rakyat dan negara berinteraksi langsung — meski kadang dengan gesekan keras.
6. Perspektif Kebudayaan: Grahadi Sebagai Memori Kolektif
Selain sisi politik, Grahadi juga punya nilai kebudayaan. Banyak seniman dan fotografer menjadikan gedung ini objek karya mereka. Lampu-lampu kota yang menyinari Grahadi di malam hari sering dipotret sebagai simbol keanggunan Surabaya.
Grahadi juga muncul dalam banyak cerita rakyat urban. Bagi sebagian warga, melewati Grahadi di malam hari menyimpan aura mistis, seolah-olah gedung itu masih menyimpan “roh kolonial” masa lalu. Simbol yang campur aduk inilah yang menjadikan Grahadi lebih dari sekadar bangunan.
7. Tantangan Masa Depan: Heritage, Politik, dan Ruang Publik
Pertanyaan besar yang muncul: apa masa depan Grahadi? Apakah ia akan tetap jadi simbol kekuasaan elit, atau bisa diubah jadi ruang publik yang lebih inklusif?
Beberapa ide bisa jadi bahan diskusi:
- Akses publik lebih luas. Bagaimana kalau Grahadi dibuka secara berkala untuk warga, bukan hanya saat acara resmi?
- Digitalisasi heritage. Dengan teknologi AR/VR, sejarah Grahadi bisa dikenalkan lebih menarik ke generasi muda.
- Dialog rakyat dan pemerintah. Halaman Grahadi bisa jadi ruang forum terbuka, bukan hanya arena demo yang sering berakhir ricuh.
Dengan cara ini, Grahadi bisa keluar dari stigma sebagai simbol “jarak” dan berubah menjadi simbol “kedekatan.”
8. Grahadi di Mata Generasi Muda
Generasi muda Surabaya punya pandangan unik soal Grahadi. Buat mereka, gedung ini mungkin nggak seikonik Tugu Pahlawan atau Jembatan Suramadu. Tapi, setiap kali ada aksi demo yang viral, nama Grahadi langsung muncul di feed mereka.
Artinya, Grahadi tetap hidup dalam memori kolektif anak muda — bukan lewat buku sejarah, melainkan lewat konten digital. Dari sinilah peluang muncul: Grahadi bisa diposisikan ulang sebagai jembatan antara sejarah masa lalu dan aspirasi masa depan.
Penutup
Grahadi Surabaya bukan sekadar bangunan tua peninggalan kolonial. Ia adalah ruang yang terus bergerak, menyimpan simbol kekuasaan, perlawanan, hingga aspirasi publik. Di era digital, makna Grahadi semakin kompleks: ia ada di jalan raya, di media sosial, dan dalam imajinasi kolektif warga Jawa Timur.
Akhirnya, Grahadi mengajarkan kita bahwa sebuah bangunan bisa lebih dari sekadar tumpukan bata. Ia bisa jadi simbol, ruang perlawanan, bahkan cermin hubungan rakyat dengan negara. Tantangannya sekarang, bagaimana membuat Grahadi lebih relevan bagi semua generasi tanpa kehilangan identitas sejarahnya.