NasionalTrending

Mpok Alpa: Perempuan Betawi yang Menjaga Tawa di Tengah Badai

Pagi di Panggung Hajatan

Pagi itu, di sebuah panggung hajatan di pinggiran Depok, suara musik dangdut terdengar memanggil. Di tengah keramaian itu, berdirilah seorang perempuan bertubuh mungil dengan senyum lebar. Mikrofon di tangannya seolah menjadi perpanjangan dari hatinya.

“Kalau hidup bikin pusing, ketawain aja!” serunya, sebelum melantunkan lagu. Seketika, gelombang tawa pecah di antara penonton—bukan semata karena kelucuannya, tetapi karena mereka bisa merasakan tulusnya kata-kata itu, seolah ia sedang berbagi sepotong kisah hidupnya sendiri.

Dia memulai langkahnya sebagai Nina Carolina. Namun, takdir menyiapkan panggung besar bagi sosok yang kelak kita soraki sebagai Mpok Alpa.


Dari Tenda Hajatan ke Studio Televisi

Di awal kariernya, panggung Mpok Alpa tak pernah megah. Tenda hajatan dengan kursi plastik, kipas angin tua yang berputar malas, serta lantai semen yang penuh jejak sandal adalah dunia yang ia kenal. Meski begitu, di situlah ia menemukan satu hal penting: tawa orang lain adalah bensin yang membuatnya terus bergerak.

Tak ada lampu sorot, tak ada naskah. Sebaliknya, hanya kata-kata spontan dari hati. Namun ternyata, dari video sederhana itu, namanya mulai bergema di jagat maya. “Saya cuma ngomong biasa, kayak ngobrol sama tetangga,” katanya dalam satu wawancara. Justru kejujuran itu yang membuat orang jatuh hati. Dari situlah, pintu dunia televisi terbuka.


Membawa Betawi dengan Bangga

Mpok Alpa tidak pernah meninggalkan logat Betawinya. “Kalau gue ganti gaya ngomong, kayak bukan gue,” ujarnya suatu kali. Baginya, di setiap kelakar dan candaan khasnya, ada warisan budaya yang ikut hidup. Karena itu, dalam setiap penampilan, ia membawa Betawi ke ruang tamu jutaan penonton—tanpa paksaan dan tanpa dibuat-buat.


Perempuan yang Tak Kenal Kata Menyerah

Dunia hiburan tidak selalu ramah, apalagi untuk pendatang baru. Jadwal syuting yang panjang, persaingan yang ketat, bahkan komentar publik yang kadang kejam, semua itu ia hadapi dengan kepala tegak. “Kerja itu ibadah, apalagi kalau bikin orang ketawa,” begitu ia pernah bilang.

Bahkan ketika kesehatannya mulai menurun, ia memilih untuk tetap tampil. Sayangnya, tidak banyak yang tahu bahwa di balik tawa lebarnya, ada rasa sakit yang ia sembunyikan rapat-rapat.


Dari Viral ke Karier Panjang

Banyak orang viral hari ini, hilang besok. Namun, Mpok Alpa berbeda. Ia paham bahwa viral hanyalah awal. Oleh karena itu, ia menjaga momen itu dengan kerja keras—mengasah kemampuannya, memperluas jaringan, serta tetap setia pada karakternya yang asli. Itulah sebabnya, namanya bertahan bahkan di tengah arus hiburan yang cepat berubah.


Dekat Tanpa Panggung

Mpok Alpa tidak membutuhkan panggung besar untuk membuat orang merasa dekat dengannya. Sebaliknya, di sela syuting, ia sering duduk di pojokan sambil ngobrol dengan kru. “Lu makan udah? Jangan kerja mulu,” katanya sambil menyodorkan makanan. Gestur kecil seperti itu membuat banyak orang merindukannya, bahkan sebelum ia pergi.


Warisan yang Tidak Akan Pernah Pudar

Kini, Mpok Alpa telah tiada. Namun, kenangan tentangnya masih hidup—bukan hanya di tawa yang ia tinggalkan, tetapi juga di bahasa Betawi yang ia bawa dengan bangga, serta di kisah tentang perempuan yang, pada akhirnya, mengajarkan bahwa keaslian adalah kekuatan.

Ia membuktikan bahwa kita bisa memulai dari tenda hajatan dan sampai ke layar kaca nasional. Lebih dari itu, ia mengingatkan kita bahwa tawa adalah hadiah terbesar yang bisa kita berikan, bahkan di saat hati sendiri sedang berjuang.


Panggung yang Sunyi, Suara yang Abadi

Hari itu, panggung kembali sunyi. Mikrofon tergeletak di atas kursi, seolah menunggu jemari yang tak akan lagi menggenggamnya. Namun, entah mengapa, di telinga banyak orang, suara Mpok Alpa tetap bergema—hangat, jenaka, dan penuh kehidupan: “Kalau hidup bikin pusing… ketawain aja.”

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button