NasionalTrending

Nyala Api yang Tak Pernah Padam: Kisah Johnson Panjaitan

Prolog: Cahaya dari Cawang

Di sudut Jakarta Timur, tepatnya di kawasan Cawang, kisah seorang anak kampung mulai menyalakan percikan kegelisahan terhadap ketidakadilan. Lahir pada 11 Juni 1966, Johnson Panjaitan datang ke dunia bukan untuk mencari kenyamanan, melainkan untuk mempertanyakan mengapa ketidakadilan di biarkan menjadi hal biasa. Ia tumbuh di tengah kehidupan sederhana, namun matanya terlalu tajam untuk mengabaikan ketimpangan di sekitarnya. Dari kegelisahan sederhana itu, muncul bara yang tak mudah padam — semangat untuk menjadikan hukum bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan cermin nurani yang memantulkan keadilan. Johnson Panjaitan tidak hanya ingin tahu bagaimana hukum bekerja, tetapi mengapa ia harus berpihak pada manusia yang tertindas. Dari sanalah akar keberaniannya muncul — bukan untuk mencari sorotan, melainkan untuk memastikan suara mereka yang nyaris tak terdengar tetap hidup.


Lebih dari Sekadar “Pengacara”

Banyak yang mengenalnya sebagai pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Namun sedikit yang memahami bahwa bagi Johnson, advokasi bukan sekadar profesi, melainkan ruang gelisah moral.
Ia tidak melihat hukum hanya sebagai aturan kaku, tetapi sebagai medan tempat manusia di uji: siapa yang berani bersuara ketika yang lain memilih diam. Bahkan di tengah ancaman dan tekanan, ia justru menemukan tenang di dalam perjuangan. “Keadilan tidak lahir di ruang nyaman,” begitu prinsip yang ia tanamkan kepada rekan-rekannya.


Ruang Sidang: Bukan Arena, Tapi Panggung Nurani

Bagi Johnson, ruang sidang bukan tempat pamer logika hukum semata, tetapi panggung di mana nilai kemanusiaan di uji. Ia memperlakukan setiap perkara bukan sekadar kasus, melainkan kisah manusia yang kehilangan haknya untuk diakui sebagai manusia.
Di ruang sidang, suaranya tak pernah meninggi, namun setiap ucapannya menembus batas formalitas hukum — tenang, tapi tegas; lembut, namun mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya. Ia membela bukan untuk menang, melainkan untuk menyadarkan bahwa hukum tanpa empati hanyalah dokumen dingin tanpa jiwa.


Melampaui Kasus Besar: Membongkar Struktur, Bukan Sekadar Pelaku

Salah satu sudut pandang yang kerap luput dari perhatian adalah keyakinan Johnson bahwa pelanggaran HAM tak selalu berwujud kekerasan fisik di jalanan atau ruang tahanan; ia juga bisa lahir sunyi — di balik meja rapat, dalam kebijakan yang melenceng, dan di keputusan yang diam-diam merampas hak orang banyak. Ia kerap mengingatkan, ketidakadilan bisa di mulai dari sebuah tanda tangan — dari pejabat yang menutup mata, dari sistem yang menormalkan kelalaian.
Bagi Johnson, melawan ketidakadilan berarti membongkar struktur yang membuat rakyat terus terpinggirkan, bukan hanya menghukum individu yang bersalah. Ia memandang hukum sebagai alat untuk merobohkan tembok sistemik, bukan sekadar memenjarakan orang.


Membangun Generasi Baru: Dari Ruang Kelas hingga Desa

Salah satu warisan terbesarnya adalah semangat untuk membentuk advokat muda yang berani dan berpihak pada rakyat. Johnson sering menghabiskan waktu bersama mahasiswa hukum dan advokat daerah untuk berbagi pengalaman, bukan sekadar teori.
Ia menanamkan keyakinan bahwa advokat sejati bukan yang terkenal, tetapi yang berani hadir di tempat di mana hukum tak lagi di anggap penting. Ia mendirikan jaringan advokasi di daerah-daerah terpencil, mendorong advokat muda untuk membuka posko pengaduan masyarakat. Dalam pandangannya, keadilan tidak bisa menunggu — ia harus di bawa ke tempat di mana ketidakadilan hidup.


Melawan dalam Senyap: Keberanian yang Tidak Mencari Tepuk Tangan

Johnson tidak mencari panggung. Ia tidak sibuk mengumumkan perjuangan, karena baginya, pembelaan yang sejati justru bekerja dalam diam — di balik meja, di lorong kantor bantuan hukum, di tengah malam ketika laporan korban datang tanpa henti.
Ia tahu perjuangan seperti itu jarang mendapat sorotan, tapi di sanalah keadilan sesungguhnya di bentuk: bukan dari gemuruh massa, tapi dari keteguhan hati seseorang yang menolak menyerah.


Warisan yang Tak Bisa Di ukur

Ketika Johnson meninggal dunia pada Oktober 2025, banyak orang mengenangnya sebagai pejuang HAM. Tapi lebih dari itu, ia meninggalkan cara pandang baru terhadap advokasi — bahwa hukum harus di sertai nurani, dan pembelaan harus di iringi pemahaman sosial.
Warisan itu tidak tercatat di piagam atau penghargaan, tapi hidup dalam prinsip yang ia tinggalkan:

Bahwa keberanian bukan berarti tanpa takut, melainkan tetap melangkah meski tahu risikonya.

Bahwa seorang advokat tak pernah boleh berhenti belajar, sebab wajah ketidakadilan senantiasa berganti rupa — kadang kasar, kadang halus, namun selalu menuntut kewaspadaan nurani.

Dan bahwa perubahan sejati tak lahir dari sosok besar yang berdiri di panggung, melainkan dari banyak langkah kecil yang berani berjalan melawan arus — dari orang-orang biasa yang menolak bungkam ketika kebenaran dipinggirkan.


Relevansi di Zaman Kini

Kini, di tengah zaman ketika nilai perjuangan sering diukur dari seberapa ramai sebuah isu dibicarakan, kisah Johnson hadir sebagai penyeimbang — mengingatkan bahwa ketulusan tidak membutuhkan sorotan, dan keberanian sejati justru tumbuh dalam keheningan, saat tak ada kamera yang merekam. Ia mengajarkan bahwa suara kebenaran tidak perlu ramai untuk berharga. Ia memilih konsistensi di tengah keheningan, bukan popularitas di tengah keramaian.
Ia percaya bahwa tugas seorang advokat bukan menunggu kasus besar, tetapi mencari ketidakadilan kecil yang luput dari perhatian — sebab di sanalah akar dari persoalan besar bermula.


Sebuah Pertanyaan untuk Kita Semua

Johnson pernah berkata, “Kalau kamu tidak bisa menjadi nyala besar, jadilah percikan yang menyalakan orang lain.”
Pertanyaannya kini: di mana percikan kita?
Apakah kita berani menyalakan sedikit cahaya di tengah sistem yang gelap, atau kita justru sibuk menikmati bayangannya?
Bagi Johnson, keadilan bukan tujuan yang menunggu di ujung jalan, melainkan perjalanan yang ditempuh dengan keberanian kecil setiap hari — keberanian untuk menegur ketika salah, bertanya saat ragu, dan menolak diam ketika ketidakadilan mulai dianggap wajar.


Epilog: Nyala yang Tidak Pernah Padam

Kini, Johnson Panjaitan telah berpulang, tetapi nyalanya tidak ikut padam. Ia berpindah — ke ruang kelas tempat mahasiswa berdiskusi, ke meja advokat muda yang sedang menulis gugatan, ke kepala desa yang berani melapor penyalahgunaan dana publik.
Ia bukan sekadar tokoh hukum. Ia adalah simbol dari keadilan yang bernafas, keadilan yang lahir dari manusia biasa yang berani melawan arus.
Mungkin ia tidak lagi hadir di ruang sidang, tetapi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button