FinanceNasionalTrending

Putar Musik di Tempat Usaha Kini Wajib Bayar Royalti: Apa Dampaknya bagi UMKM dan Musisi?

Musik Bukan Lagi Gratis di Ruang Publik

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) kembali menegaskan bahwa penggunaan musik di tempat umum, seperti kafe, restoran, hotel, pusat kebugaran, bahkan transportasi, wajib di kenakan royalti. Seperti amanat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Banyak masyarakat yang terkejut ketika kabar ini menjadi ramai di media sosial dan pemberitaan. Padahal, regulasi ini bukan hal baru—yang berubah adalah komitmen penegakan hukumnya. DJKI kini lebih serius melakukan sosialisasi, pengawasan, dan pemberian sanksi bagi pelaku usaha yang lalai atau menolak membayar royalti.


Dua Sisi Mata Uang: Antara Perlindungan Musisi dan Beban Pelaku Usaha

Di satu sisi, kebijakan ini memberikan angin segar bagi para pencipta lagu, musisi, dan pemilik hak cipta lainnya. Selama ini, banyak tempat usaha memutar musik secara bebas tanpa memberikan imbal balik finansial kepada para pencipta. Kini, mereka bisa mendapat hak ekonominya melalui sistem royalti yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan lembaga sejenis.
Namun di sisi lain, pelaku usaha—terutama UMKM—mengaku merasa terbebani. Banyak yang mempertanyakan: “Kalau hanya memutar lagu dari YouTube atau Spotify, kenapa harus bayar lagi?” Jawabannya, karena hak cipta tidak hanya berlaku di medium pemutaran, tetapi juga dalam konteks penggunaannya. Jika diputar untuk kepentingan komersial atau layanan publik, maka tetap harus membayar royalti.


Masih Minim Edukasi: Salah Kaprah yang Meluas

Salah satu tantangan utama dalam implementasi kebijakan ini adalah kurangnya edukasi. Banyak pemilik usaha tidak memahami bahwa mereka sebenarnya telah melanggar hak cipta dengan memutar lagu tanpa izin. Mereka mengira cukup berlangganan aplikasi musik legal, padahal lisensi personal tidak sama dengan lisensi publik.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kampanye masif dan inklusif mengenai apa itu royalti, siapa yang wajib membayar, dan bagaimana mekanisme pembayarannya. DJKI dan LMKN diharapkan dapat menggandeng media, asosiasi pengusaha, hingga komunitas kreatif untuk menyosialisasikan aturan ini dengan pendekatan yang tidak mengintimidasi.


Kritik Transparansi: Ke Mana Sebenarnya Uang Royalti Pergi?

Salah satu isu yang mencuat dalam perdebatan ini adalah transparansi distribusi royalti. Banyak masyarakat dan pelaku usaha yang skeptis: Apakah uang yang dibayarkan benar-benar sampai ke musisi? Bagaimana pembagiannya? Siapa yang mengawasi?
LMKN dan LMK harus menjawab ini dengan sistem yang terbuka, terukur, dan bisa di akses publik. Daftar lagu yang di gunakan di ruang publik, besaran royalti yang terkumpul, dan distribusinya perlu di laporkan secara berkala. Bahkan, sistem digital berbasis pelacakan metadata lagu dan penggunaan sensor audio bisa di kembangkan untuk meningkatkan akurasi dan kepercayaan.


Solusi Kolaboratif: Ringankan Beban, Jaga Keadilan

Pemerintah dan LMKN dapat menghadirkan skema lisensi khusus untuk UMKM, misalnya dengan tarif yang di sesuaikan berdasarkan luas tempat, omzet, dan frekuensi penggunaan musik.
Di sisi lain, musisi lokal bisa terlibatkan langsung untuk memproduksi musik bebas royalti (royalty-free) bagi tempat-tempat tertentu, dengan skema pembagian pendapatan alternatif.


Momentum untuk Membangun Budaya Menghargai Karya

Masalah royalti musik bukan semata urusan hukum atau ekonomi, tetapi juga budaya menghargai karya orang lain. Selama ini, kita terbiasa mengonsumsi musik secara gratis tanpa berpikir panjang tentang siapa yang menciptakan, merekam, dan memproduksinya.
Kini, dengan adanya aturan tegas dan sosialisasi yang terus diperkuat, masyarakat diharapkan bisa tumbuh menjadi lebih sadar akan pentingnya hak kekayaan intelektual (HKI). Ini sejalan dengan visi besar Indonesia sebagai negara berbasis ekonomi kreatif dan digital di masa depan.


Kesimpulan: Jangan Takut Bayar Royalti, Tapi Minta Sistem yang Adil

Penerapan royalti musik di ruang publik adalah langkah positif menuju perlindungan hak cipta yang nyata di Indonesia. Namun agar tidak menimbulkan polemik terus-menerus, sistem ini harus di bangun dengan prinsip: adil bagi musisi, wajar bagi pelaku usaha, dan transparan bagi publik.
Bukan hanya pelaku usaha yang harus di edukasi, tapi juga seluruh elemen masyarakat. Jika ini berhasil, maka kita tidak hanya bicara soal royalti—kita sedang membangun peradaban yang menghormati karya dan menjunjung keadilan. ~Tirtaaji

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button