
Angka utang negara sebesar Rp800 triliun yang jatuh tempo pada 2025 adalah isu yang hanya menyentuh Kementerian Keuangan dan pelaku pasar obligasi. Namun, pembahasan seperti ini kerap menutup mata dari efek domino yang lebih luas, termasuk terhadap pemerintah daerah, sektor swasta, hingga generasi muda yang akan mewarisi beban jangka panjangnya.
Masalahnya bukan hanya pada cara pemerintah membayar, tapi bagaimana pembayaran tersebut mengorbankan alokasi fiskal strategis untuk kebutuhan daerah dan masyarakat.
Pemangkasan Transfer Daerah: Siapa yang Kena Imbas?
Untuk menjaga kredibilitas fiskal, pemerintah pusat bisa mengambil langkah efisiensi—salah satunya dengan mengurangi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ke daerah. Jika ini terjadi, proyek-proyek di kabupaten dan kota seperti perbaikan jalan, pembangunan pasar, dan layanan dasar bisa terkena dampaknya.
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada tren rasionalisasi belanja kementerian/lembaga dan penundaan transfer ke daerah demi menjaga defisit fiskal tetap aman. Dengan beban utang yang menumpuk, bukan tak mungkin alokasi pembangunan luar Jawa makin kecil.
Sektor Swasta: Persaingan Modal dengan Negara
Saat pemerintah membutuhkan dana besar untuk refinancing atau menerbitkan utang baru, mereka biasanya menawarkan suku bunga tinggi demi menarik investor. Ini menciptakan efek crowding out, di mana sektor swasta sulit bersaing mendapatkan pembiayaan dari bank dan investor karena semua tertarik membeli SBN yang lebih aman dan menguntungkan.
Akibatnya:
- Startup dan UKM sulit mendapatkan modal usaha
- Investasi swasta melambat
- Pertumbuhan lapangan kerja terhambat
Singkatnya, saat negara “menyedot” terlalu banyak likuiditas dari pasar, dunia usaha yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bisa kehabisan bensin.
Generasi Muda dan Warisan Utang
Salah satu aspek yang hampir tak pernah dibahas adalah beban antargenerasi. Jika utang terulang terus-menerus tanpa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, maka anak muda hari ini akan menjadi generasi pembayar utang di masa depan.
Ironisnya, banyak program yang seharusnya mendukung regenerasi—seperti beasiswa, pelatihan kerja, subsidi UMKM—bisa tertekan akibat keterbatasan fiskal. Sementara itu, kualitas pendidikan dan kesehatan tetap stagnan atau bahkan mundur jika anggaran terus di geser ke pembayaran bunga utang.
Transparansi Fiskal: Di Mana Partisipasi Publik?
Satu hal yang jarang di bahas juga adalah minimnya pelibatan publik dalam pengambilan keputusan utang. Rakyat hanya tahu setelah utang di terbitkan, jatuh tempo di umumkan, dan beban fiskal membengkak.
Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, pengelolaan utang publik semestinya bersifat partisipatif dan transparan. Saat Rp800 triliun harus dibayar, masyarakat berhak tahu:
- Proyek apa saja yang dibiayai utang tersebut?
- Apakah hasilnya sebanding dengan beban bunga dan pokoknya?
- Siapa yang paling diuntungkan?
Tanpa keterbukaan ini, narasi pembangunan hanya jadi pembenaran teknokratis, bukan tanggung jawab bersama.
Strategi yang Perlu Diubah: Bukan Sekadar Bayar, Tapi Evaluasi
Utang jatuh tempo bukan hanya soal pembayaran, tapi juga soal refleksi kebijakan masa lalu. Pemerintah perlu menjawab: apakah utang yang di ambil dalam 5–10 tahun terakhir benar-benar memberi efek multiplikatif terhadap ekonomi?
Jika jawabannya tidak, maka cara kita mengambil dan menggunakan utang harus direvisi.
Beberapa rekomendasi:
- Audit publik tahunan terhadap kinerja proyek yang di biayai utang
- Moratorium utang baru untuk proyek yang tidak produktif atau hanya simbolik
- Prioritaskan belanja sosial dan infrastruktur daerah
Kesimpulan: Utang Jatuh Tempo, Dampaknya Menjalar
Utang negara sebesar Rp800 triliun yang jatuh tempo bukan cuma angka besar di laporan APBN. Ia punya efek berlapis: dari pusat ke daerah, dari pasar ke rumah tangga, dari investor ke mahasiswa.
Jika kita terus memandang masalah ini hanya sebagai tugas teknis Menteri Keuangan, maka kita abai terhadap dampaknya yang sistemik dan lintas sektor. Ini saatnya untuk menuntut pengelolaan utang yang adil dan transparan.