
Ketika seorang terdakwa menangis dan memohon untuk bicara lebih lama dalam sidang, publik biasanya akan bereaksi: haru, bingung, atau curiga. Namun dalam kasus Nikita Mirzani, yang terjadi justru sebaliknya—tangisnya di abaikan, dan sidang di tutup begitu saja.
Momen itu, yang terjadi pada 7 Agustus 2025, bukan hanya episode emosional di ruang sidang, tapi menjadi cermin dingin dari bagaimana sistem hukum sering kali kaku, prosedural, dan enggan mendengar sisi manusia dari seseorang yang tengah di periksa.
Sistem Hukum dan Kekakuan Prosedur
Hakim memutuskan menutup sidang meskipun Nikita masih ingin menyampaikan sesuatu. Tangis dan permohonannya tidak direspons, bahkan dianggap tidak relevan dalam konteks waktu sidang.
Pertanyaannya: apakah sidang hanya soal waktu dan aturan? Bagaimana jika seseorang benar-benar belum selesai membela dirinya? Apakah “jam kerja” lebih penting dari pencarian keadilan yang utuh?
Ketika Keadilan Menjadi Transaksional
Dalam berbagai kasus hukum di Indonesia, kita kerap menyaksikan prosedur lebih di utamakan daripada rasa keadilan. Proses hukum seakan jadi panggung cepat saji: siapa cepat, dia selesai. Tapi bagaimana dengan terdakwa yang masih membawa beban psikologis besar, tekanan publik, dan kerusakan reputasi?
Keadilan idealnya bersifat inklusif—mendengarkan, bahkan ketika terasa melelahkan. Namun dalam kasus ini, yang terlihat justru sikap sistemik: cuek terhadap emosi, abai terhadap konteks.
Artis, Opini Publik, dan Ketakutan Diperlakukan Istimewa
Salah satu kemungkinan mengapa hakim enggan melanjutkan sidang adalah karena terdakwa adalah seorang publik figur. Ada anggapan bahwa publik figur sebaiknya di perlakukan seperti rakyat biasa, tidak dapat panggung lebih besar dari warga sipil.
Namun keadilan bukan tentang menyamaratakan semua secara kaku—tapi tentang memahami konteks masing-masing individu. Ketika seseorang menangis bukan karena ingin memanipulasi, tetapi karena merasa belum di dengar, itu seharusnya jadi alarm etis dalam ruang hukum.
Dimana Letak Empati dalam Sidang?
Empati bukan berarti membela terdakwa. Tapi dalam proses hukum, empati adalah sikap untuk benar-benar mendengar tanpa menghakimi terlalu awal. Ketika hakim memutuskan sidang selesai dan tidak memberi waktu tambahan kepada seseorang yang secara emosional meminta bicara, maka hilanglah dimensi kemanusiaan dalam hukum.
Publik perlu bertanya: jika Nikita Mirzani yang terkenal bisa di abaikan air matanya, lantas bagaimana dengan terdakwa yang tak punya media, pengacara kuat, atau popularitas?
Beban Ganda Seorang Selebriti
Sebagai artis, Nikita tidak hanya berurusan dengan hukum. Ia juga berperang di ruang opini publik. Setiap ekspresi, kata, dan air mata akan di tafsirkan ulang—seolah ia bukan manusia, tapi “karakter” dalam drama yang harus konsisten.
Sidang ini menunjukkan bahwa selebritas membawa beban ganda: harus mempertahankan diri di pengadilan, dan juga menjaga wajah di depan masyarakat yang belum tentu simpatik.
Saat Hukum Kehilangan Sensitivitas
Yang terjadi dalam sidang Nikita bukan hanya pengabaian atas permohonan seseorang. Itu adalah pengingat bahwa sistem hukum bisa jadi kehilangan sensitivitas terhadap situasi manusiawi—baik karena ingin efisiensi, menjaga wibawa, atau karena semata-mata ingin “menunjukkan kekuasaan”.
Padahal, keadilan tidak hanya bicara tentang pasal dan prosedur. Ia juga bicara tentang memberi ruang kepada yang sedang terpuruk untuk berbicara. Karena mungkin, dari suara yang masih tersisa, kita bisa mendengar versi lain dari kebenaran.
Kesimpulan: Tangisan yang Tidak Sia-sia
Apakah tangisan Nikita akan mengubah arah sidang? Belum tentu. Tapi yang jelas, momen itu telah membuka diskusi publik soal kerasnya wajah hukum di Indonesia.
Jika sistem peradilan ingin dipercaya, ia harus lebih dari sekadar efisien dan adil secara prosedural. Ia harus siap mendengarkan—bahkan ketika yang bicara bukan orang biasa, tapi seseorang yang membawa luka dan suara yang lebih besar dari dirinya sendiri. ~Tirtaaji