
Pernah dengar istilah tantiem? Buat sebagian orang, kata ini terasa asing. Tapi kalau saya sebut “royalti lagu” atau “bagi hasil YouTube”, pasti langsung nyambung. Nah, sebenarnya konsepnya sama: imbalan finansial atas karya atau kinerja yang menghasilkan keuntungan.
Dari Ruang Rapat ke Dunia Musik
Awalnya, tantiem populer di dunia korporasi. Setiap kali perusahaan untung besar, direksi dan komisaris bisa dapat jatah tambahan lewat keputusan RUPS. Nilainya? Jangan kaget, bisa miliaran rupiah.
Tapi jangan bayangkan cuma bos-bos perusahaan saja yang bisa menikmati skema ini. Dunia musik sudah lama hidup dengan mekanisme serupa. Lagu di putar di radio, di pakai di kafe, atau nongol di Spotify, penciptanya otomatis dapat tantiem alias royalti.
Masuk Era Digital: Semua Orang Bisa Dapat Tantiem
Era digital mengubah tantiem menjadi instrumen yang lebih inklusif, membuka peluang bagi siapa pun untuk memperoleh imbalan atas karyanya. Youtuber, podcaster, sampai penulis di platform daring sekarang bisa “hidup dari algoritma”. Setiap kali video di tonton, podcast di putar, atau tulisan di baca, mereka dapat bagi hasil. Bentuknya bisa iklan, subscription, atau micro-payment.
Bedanya dengan Korporasi
Kalau di perusahaan harus lewat RUPS, di dunia digital cukup lewat klik, view, dan engagement. Siapa pun bisa, asal kontennya tembus pasar.
Masalah Baru: Nggak Semudah Itu, Ferguso
Meski terdengar keren, tantiem digital punya sisi gelap. Banyak kreator kecil mengeluh karena:
- algoritma lebih memanjakan konten populer,
- literasi hak cipta masih rendah,
- dan sebagian besar kendali ada di platform raksasa.
Akhirnya, yang kaya makin kaya, yang baru mulai sering tersisih. Mirip-mirip dengan dunia korporasi, di mana cuma segelintir elit yang merasakan besarnya tantiem.
Tantiem Sebagai Bahasa Universal Apresiasi
Kalau dipikir-pikir, tantiem itu kayak bahasa universal untuk bilang: “Hei, kerja kerasmu dihargai.” Entah lewat RUPS perusahaan atau lewat streaming Spotify, intinya sama: ada nilai yang tercipta, lalu dibagi.
Kesempatan di Era Digital
Bedanya, di era digital semua orang punya kesempatan. Dari kamar kos sempit, seorang kreator bisa mengantongi tantiem yang dulu hanya identik dengan ruang rapat penuh jas dan dasi.
Masa Depan: Dari Elit ke Kolektif
Pertanyaannya sekarang, bisakah sistem tantiem dibuat lebih adil? Bayangkan kalau perusahaan membagi keuntungan ke semua karyawan, bukan cuma direksi. Atau platform digital bikin aturan yang lebih ramah kreator kecil, bukan hanya yang viral. Dengan begitu, rasa keadilan bisa lebih terasa karena setiap orang yang berkontribusi ikut menikmati hasil. Skema semacam ini juga dapat meningkatkan motivasi kerja, loyalitas, serta mendorong terciptanya ekosistem yang sehat. Distribusi tantiem yang lebih merata berpotensi mengurangi kesenjangan antara lapisan pekerja dengan manajemen puncak, sekaligus menjadi faktor penting dalam memperkuat kepercayaan publik terhadap perusahaan maupun platform digital.